Thursday, July 19, 2007

Kemanakah Jurnalisme HMI..?

Tradisi Jurnalisme, Perlukah Kita (HMI)?
Oleh MUHAMMAD AS


Saya sedang menyusun kurikulum pendidikan jurnalisme yang pas bagi mahasiswa untuk dikembangkan di Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), sebuah lembaga yang dibentuk Himpunan Mahasiswa Islam HMI (MPO). Ini lembaga yang didirikan untuk mendidik anggotanya agar memiliki keahlian dan profesonalisme di bidang jurnalisme. Kurikulum ini akan menjadi model pendidikan jurnalisme di lembaga itu.

Akhir Juli ini, LAPMI akan mengelar Lokakarya untuk merumuskan kurikulum tersebut. Dalam lokakarya itu LAPMI menurut rencana juga akan melakukan perubahan mendasar pada kelembagaan LAPMI. Bahkan ada rencana lembaga ini akan berubah nama (Rencananya akan berubah menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa- red). Lembaga ini ke depan akan lebih fokus pada pendidikan jurnalisme tingkat mahasiswa.

Selama bertahun-tahun LAPMI memang belum memiliki pola pendidikan yang baku. Padahal kurikulum inilah yang akan menjadi tulang punggung keberlanjutan lembaga dan pengkaderan anggotanya. Saya kira masalahnya bukan pada persoalan SDM sebenarnya, tapi lebih kepada membentuk tradisi baru di HMI agar memiliki interest lebih pada jurnalisme. Saya ambil cotoh kecil, untuk mencari peserta yang mau ikut training jurnalistik saja di komunitas HMI sulitnya minta ampun, sangat kontras dengan peserta yang ikut traning macam traning politik yang pesertanya bisa berjibun. Kelasnya pasti penuh.

LAPMI memang pernah beberapa kali mengadakan pendidikan jurnalisme, tapi materinya hanya sebatas pengenalan dasar jurnalisme (reportase dasar) dan tidak menyentuh secara mendalam misalnya soal verifikasi dan bias media.

LAPMI juga dulu sempat menerbitkan media-media alternative. Di Jakarta, Jogja, Semarang, Makasar dan cabang-cabang LAPMI di seluruh Indonesia. Media seperti ini banyak berkembang ketika Orde baru berkuasa. Dan saya kira kita tak sendirian, banyak organisasi lain juga melakukan hal yang sama. Tapi bagi saya terbitnya media tersebut tidaklah cukup untuk melihat tradisi jurnalisme tengah berkembang di komunitas kami. Faktanya isi dari media tersebut toh sangat juah dari prinsip dasar jurnalisme seperti soal verifikasi yang menjadi esensi dari jurnalisme.

Perkembangan menarik baru terjadi setahun ini. Banyak anggota HMI yang mulai bertanya-tanya tentang jurnalisme. Banyak yang bertanya kepada saya bagaimana cara menulis berita yang bener, bagaimana menulis opini, bagaimana menulis feature, apa sih citizen jurnalism, apa itu jurnalisme baru, jurnalisme sastrawi, jurnalisme investigasi, dan lain-lain. Saya sampai kualahan!.

Beberapa cabang yang LAPMI-nya tak jalan kini mulai dihidupkan lagi. Mereka juga mulai lagi bikin media, ada yang berbentuk buletin, ada yang bikin blog. HMI memiliki sekitar 50 cabang di seluruh Indonesia, dan 30 persennya memiliki LAPMI.

Setahun ini diskusi jurnalisme juga sudah jadi obrolan-obrolan kecil di teras sekretariat. Kemarin ketika saya berkunjung ke LAPMI cabang di Purwokerto ada saja ocehan “ Besok saya liputan si anu ya,”; “ Aku liputan anak jalanan saja,”; ”Oh si Anu lagi begini lho, kita liput yuk,”. Obrolan-obrolan seperti ini dulu tak pernah terjadi.

Saya kira gairah ini yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sudah saatnya LAPMI memiiki kurikulum sendiri dalam pendidikannya. Di HMI, pendidikan seperti ini menjadi penting bagi pengkaderan anggotanya. Dan Kornas LAPMI sudah membentuk tim khusus untuk mengodog kurikulum tersebut.

Tantangan tersulit yang kami hadapi dalam menyusun kurikulum ini adalah karena tradisi jurnalisme di HMI memang masih kalah tenar dibanding tradisi politik. Kesulitan kedua kami menyusun pendidikan jurnalisme untuk mahasiswa yang bukan khusus belajar di pendidikan formal jurnalistik. Tentu saja kurikulum yang kita bikin tidak akan sama dengan kurikulum pendidikan jurnalisme di kampus-kampus formal yang diajarkan dalam satu semester penuh dan dijejali mahasiswa jurusan jurnalistik. Bayangan kami kelas hanya akan berlangsung selama sekitar 4 – 5 hari saja atau paling lama seminggu. Kelas ini ada kelas tingkat dasar dan ada kelas tingkat lanjut. Model kelas ini sifatnya wajib. Materi-materi yang diajarkan selain materi dasar jurnalisme juga ada rencana mengajarkan materi macam Literary Journalism, Citizen Jurnalism, New Jurnalism. National Affairs Reporting, Cultural Affairs Reporting, In Dept Reporting, Human Rights Reporting, Business and Economic Reporting dan lain-lain.

Kami juga memasukkan model kursus yang sifatnya menjadi pilihan. Model kursus ini diarahkan pada konsentrasi. Kami memang ingin sekali mengarahkan setiap anggota LAPMI agar memiliki konsentrasi di bidang tertentu. Banyangan kami ada empat kategori konsentrasi : Brodcasting, Majalah, Koran, dan Online. Jadi kedepan anggota LAPMI ada yang jago bikin majalah, jago di jurnalisme online, jago jadi wartawan koran, dan jago jadi wartawan televisi atau radio.


Saya kira ini terobosan baru yang kalau berhasil bisa membuat tradisi baru di HMI. LAPMI atau apapun nama lembaganya nanti akan menjadi mainan yang menarik untuk dimasuki anggota HMI. Dan saya kira ke depan inilah satu-satunya lembaga jurnalisme tingkat mahasiswa yang pernah ada di Indonesia.[Sumber www.hminews.com]

***

Muhammad AS, Direktur Koordinator Nasional Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI.

2 comments:

HMI Saintek said...

memang harus dibudayakan bos menulisnya. ada salam dari temen-temen hmi malang. khususnya dari uin malang

Budak Baong said...

Lho denger-denger dah mau Munas, kok lokakarya? Ngejar setoran ya? he he he

 
@Copyright © 2007 Depkoinfokom HMI Design by Boelldzh
sported by HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Kabupaten Bandung
Pusgit (Pusat Kegiatan) HMI Jl.Permai V Cibiru Bandung 40614
email;hmi[DOT]kab[DOT]bdg[ET]gmail[DOT]com