Thursday, July 19, 2007

Kemanakah Jurnalisme HMI..?

Tradisi Jurnalisme, Perlukah Kita (HMI)?
Oleh MUHAMMAD AS


Saya sedang menyusun kurikulum pendidikan jurnalisme yang pas bagi mahasiswa untuk dikembangkan di Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), sebuah lembaga yang dibentuk Himpunan Mahasiswa Islam HMI (MPO). Ini lembaga yang didirikan untuk mendidik anggotanya agar memiliki keahlian dan profesonalisme di bidang jurnalisme. Kurikulum ini akan menjadi model pendidikan jurnalisme di lembaga itu.

Akhir Juli ini, LAPMI akan mengelar Lokakarya untuk merumuskan kurikulum tersebut. Dalam lokakarya itu LAPMI menurut rencana juga akan melakukan perubahan mendasar pada kelembagaan LAPMI. Bahkan ada rencana lembaga ini akan berubah nama (Rencananya akan berubah menjadi Institut Jurnalisme Mahasiswa- red). Lembaga ini ke depan akan lebih fokus pada pendidikan jurnalisme tingkat mahasiswa.

Selama bertahun-tahun LAPMI memang belum memiliki pola pendidikan yang baku. Padahal kurikulum inilah yang akan menjadi tulang punggung keberlanjutan lembaga dan pengkaderan anggotanya. Saya kira masalahnya bukan pada persoalan SDM sebenarnya, tapi lebih kepada membentuk tradisi baru di HMI agar memiliki interest lebih pada jurnalisme. Saya ambil cotoh kecil, untuk mencari peserta yang mau ikut training jurnalistik saja di komunitas HMI sulitnya minta ampun, sangat kontras dengan peserta yang ikut traning macam traning politik yang pesertanya bisa berjibun. Kelasnya pasti penuh.

LAPMI memang pernah beberapa kali mengadakan pendidikan jurnalisme, tapi materinya hanya sebatas pengenalan dasar jurnalisme (reportase dasar) dan tidak menyentuh secara mendalam misalnya soal verifikasi dan bias media.

LAPMI juga dulu sempat menerbitkan media-media alternative. Di Jakarta, Jogja, Semarang, Makasar dan cabang-cabang LAPMI di seluruh Indonesia. Media seperti ini banyak berkembang ketika Orde baru berkuasa. Dan saya kira kita tak sendirian, banyak organisasi lain juga melakukan hal yang sama. Tapi bagi saya terbitnya media tersebut tidaklah cukup untuk melihat tradisi jurnalisme tengah berkembang di komunitas kami. Faktanya isi dari media tersebut toh sangat juah dari prinsip dasar jurnalisme seperti soal verifikasi yang menjadi esensi dari jurnalisme.

Perkembangan menarik baru terjadi setahun ini. Banyak anggota HMI yang mulai bertanya-tanya tentang jurnalisme. Banyak yang bertanya kepada saya bagaimana cara menulis berita yang bener, bagaimana menulis opini, bagaimana menulis feature, apa sih citizen jurnalism, apa itu jurnalisme baru, jurnalisme sastrawi, jurnalisme investigasi, dan lain-lain. Saya sampai kualahan!.

Beberapa cabang yang LAPMI-nya tak jalan kini mulai dihidupkan lagi. Mereka juga mulai lagi bikin media, ada yang berbentuk buletin, ada yang bikin blog. HMI memiliki sekitar 50 cabang di seluruh Indonesia, dan 30 persennya memiliki LAPMI.

Setahun ini diskusi jurnalisme juga sudah jadi obrolan-obrolan kecil di teras sekretariat. Kemarin ketika saya berkunjung ke LAPMI cabang di Purwokerto ada saja ocehan “ Besok saya liputan si anu ya,”; “ Aku liputan anak jalanan saja,”; ”Oh si Anu lagi begini lho, kita liput yuk,”. Obrolan-obrolan seperti ini dulu tak pernah terjadi.

Saya kira gairah ini yang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sudah saatnya LAPMI memiiki kurikulum sendiri dalam pendidikannya. Di HMI, pendidikan seperti ini menjadi penting bagi pengkaderan anggotanya. Dan Kornas LAPMI sudah membentuk tim khusus untuk mengodog kurikulum tersebut.

Tantangan tersulit yang kami hadapi dalam menyusun kurikulum ini adalah karena tradisi jurnalisme di HMI memang masih kalah tenar dibanding tradisi politik. Kesulitan kedua kami menyusun pendidikan jurnalisme untuk mahasiswa yang bukan khusus belajar di pendidikan formal jurnalistik. Tentu saja kurikulum yang kita bikin tidak akan sama dengan kurikulum pendidikan jurnalisme di kampus-kampus formal yang diajarkan dalam satu semester penuh dan dijejali mahasiswa jurusan jurnalistik. Bayangan kami kelas hanya akan berlangsung selama sekitar 4 – 5 hari saja atau paling lama seminggu. Kelas ini ada kelas tingkat dasar dan ada kelas tingkat lanjut. Model kelas ini sifatnya wajib. Materi-materi yang diajarkan selain materi dasar jurnalisme juga ada rencana mengajarkan materi macam Literary Journalism, Citizen Jurnalism, New Jurnalism. National Affairs Reporting, Cultural Affairs Reporting, In Dept Reporting, Human Rights Reporting, Business and Economic Reporting dan lain-lain.

Kami juga memasukkan model kursus yang sifatnya menjadi pilihan. Model kursus ini diarahkan pada konsentrasi. Kami memang ingin sekali mengarahkan setiap anggota LAPMI agar memiliki konsentrasi di bidang tertentu. Banyangan kami ada empat kategori konsentrasi : Brodcasting, Majalah, Koran, dan Online. Jadi kedepan anggota LAPMI ada yang jago bikin majalah, jago di jurnalisme online, jago jadi wartawan koran, dan jago jadi wartawan televisi atau radio.


Saya kira ini terobosan baru yang kalau berhasil bisa membuat tradisi baru di HMI. LAPMI atau apapun nama lembaganya nanti akan menjadi mainan yang menarik untuk dimasuki anggota HMI. Dan saya kira ke depan inilah satu-satunya lembaga jurnalisme tingkat mahasiswa yang pernah ada di Indonesia.[Sumber www.hminews.com]

***

Muhammad AS, Direktur Koordinator Nasional Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI.

Baca Selengkapnya......

Wednesday, July 4, 2007

Bercerminlah

Muthahhari, Guru Besar Muslimin Era Modern
......

Dewasa ini, berbagai negara dunia menggalakkan pembahasan masalah reformasi pemikiran dan sosial. Dalam hal ini Islam senantiasa menyerukan reformasi dan pembenahan dan selalu mendorong masyarakat untuk membenahi kondisi yang ada. Terkadang sebuah masyarakat menjalani rutinitas mereka selama puluhan dekade bahkan ratusan tahun tanpa ada perkembangan apapun. Perlahan-lahan masyarakat itu mengalami proses degradasi dan kejumudan. Saat itulah, harus muncul seorang figur yang mampu menyadarkan dan mendorong masyarkat tersebut untuk bergerak maju. Pembenahan itu dapat dilakukan di berbagai bidang, dan pada era kini salah seorang figur reformis pemikiran agama adalah Syahid Ayatullah Murtadha Mutahhari.

Seorang peneliti dan dosen universitas Iran, Doktor Hasan Azghadi mengatakan, “Berjihad dan pengorbanan tidak dilakukan hanya di sektor politik dan sosial saja. Ada saatnya saat melakukan penelitian ilmiah yang menggunakan pilar-pilar pemikiran, seseorang harus bersikap berani. Di satu sisi, ia harus berdiri tegak menghadapi berbagai pemikiran menyimpang di kalangan internal ummat Islam. Di sisi lain, ia juga harus melawan serbuan pemikiran dari luar yang menyatakan bahwa agama bukanlah hal yang penting dalam kehidupan manusia.

“Dalam sejarah, kita akan mendapati bahwa orang yang mampu melakukan perjuangan melawan dua kekuatan pemikiran itu bisa dikatakan sangat sedikit. Di antara pemikir yang sedikit itu adalah Syahid Muthahhari. Beberapa dekade lamanya, Muthahhari muncul sebagai pemikir Islam yang mampu membela agama Islam dari serbuan pemikiran luar ataupun penyimpangan internal. Ia mengemukakan pemikiran Islam yang hakiki dengan bahas yang bernas, cerdas, dan menarik. Muthahhari adalah penjaga benteng pemikiran Islam yang kokoh di akhir abad 20. Pejuang pemikiran Islam itupun pada akhirnya mempersembahkan nyawanya di jalan agama dan gugur sebagai syahid.”

Kalau kita mengamati pemikiran-pemikiran Syahid Muthahhari, kita akan mendapati fakta bahwa sebagian sebagian besar aktivitas ilmiahnya dicurahkan untuk mengungkap penyimpangan pemikiran Islam yang ada di tengah-tengah masyarakat, sekaligus memberikan bantahannya. Muthahhari juga memberikan penjelasan atas berbagai hal yang masih sering dianggap bias dalam ajaran Islam. Sebagai contoh, Muthahhari menulis tiga jilid buku berjudul “Perjuangan Huseini”. Di buku itu, Muthahhari secara detail menuliskan faktor-faktor yang membuat pejuangan Imam Husein di Padang Karbala menjadi begitu abadi. Ia juga menjelaskan hal-hal yang sering dipertanyakan oleh sejumlah kalangan terkait peristiwa tersebut. Syahid Muthahhari di buku itu juga menjelaskan pentingnya tugas muslimin dalam mengantisipasi aksi distorsi dan perusakan agama dan sosial.

Syahid Muthahhari menilai Islam sebagai agama yang dapat menjawab seluruh tuntutan pada zamannya. Di antara karya komprehensif beliau adalah buku berjudul “Islam dan Tuntutan Zaman”. Beliau berpendapat bahwa umat manusia memiliki ketergantungan terhadap unsur-unsur materi dan maknawi. Cara untuk memnuhi tuntutan tersebut pun sangat beragam dan berbeda-beda pada setiap zaman. Sebab itu, manusia harus menyesuaikan dirinya dengan tuntutan zamannya. Menurut Muthahhari, tuntutan tersebut tidak dapat dielakkan atau dicegah. Namun pada saat yang sama, tidak seluruh fenomena tersebut adalah pilihan terbaik bagi kehidupan manusia. Karena, fenomena tersebut adalah karya manusia yang tidak terjaga dari kesalahan. Oleh sebab itu, setiap individu dituntut untuk dapat menyesuaikan tuntannya serta mengontrol dan membenahinya.” Artinya, umat manusia harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi zamannya seperti memanfaatkan teknologi yang terus berkembang. Namun pada saat yang sama mereka juga harus tetap menjaga diri dari dampak negatif yang muncul dari arus kemajuan teknologi.

Menurut Muthahhari, ajaran Islam adalah yang paling komprehensif, sempurna, dan terus hidup sepanjang zaman. Ajaran Islam juga dapat disesuaikan dengan tuntutan pada zamannya. Masalah inilah yang ditekankan beliau dalam bukunya berjudul ‘Matahari Agama, Tidak Akan Pernah Terbenam’. Ditegaskannya bahwa, fenomena sosial dapat dikokohkan jika disesuaikan dengan tuntutan masyarakatnya. Artinya, fenomena tersebut harus muncul dari dalam hati dan fitrah setiap manusia dan harus sesuai dengan tuntutannya.

Menyikapi perluasan pemikiran Barat yang menyerang dan menistakan kedudukan perempuan dalam Islam, Syahid Muthahhari menulis buku tentang hak-hak perempuan dan masalah Hijab. Dalam buku itu, Muthahhari mengemukakan berbagai argumentasi yang kuat dan bahkan balik mengkritik pendapat Barat mengenai hak perempuan dalam Islam. Beliau menepis pendapat Barat bahwa Islam telah menistakan hak perempuan. Dikatakannya, bahwa Islam menjunjung tinggi kedudukan perempuan. Dalam AlQuran disebutkan berbagai ayat yang menyebutkan bahwa takdir dan nasib perempuan dan laki-laki tidak dibedakan. Misalnya dalam masalah pahala dan azab, tidak ada perbedaan bagi kaum perempuan dan laki-laki. AlQuran bahkan menyebutkan keutamaan para wanita suci seperti istri nabi Adam dan Ibrahim, serta ibu nabi Musa dan Isa.

Salah satu pemikiran menarik Syahid Muthahhari adalah masalah pembedaan antara adat dan etika. Menurutnya, nilai-nilai etika akan kekal sepanjang masa. Karena etika seperti keadilan, kejujuran, menepati janji, cinta, dan lain-lainnya, sangat erat kaitannya dengan tuntutan dan kecenderungan manusia. Adapun adat sosial selalu mengalami perubahan. Sebab itu, Muthahhari menentang pihak yang berpendapat bahwa sejumlah adat harus tetap dijaga dan dilestarikan, karena menurut beliau, adat tersebut bisa jadi tidak sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman. Hal ini menurutnya akan menyebabkan kejumudan dan kemunduran.

Baca Selengkapnya......

Monday, July 2, 2007

Indonesia

Indonesia; Negeri Ironi
Oleh Ibn Ghifarie

Lakaknya di negeri ironi. Negara yang punya segalanya, tetapi kekurangan banyak hal. Kita punya laut amat luas, tapi isi laut yang melimpah tidak membuat nelayan kita kaya. Pengais jala tetap dalam wajahnya yang lama; miskin dan tak berdaya.

Hamparan hutan luas tak membuat binatang ternak beranak pinak. Malah mati kelaparan akibat huntanya gundul. Tentunya, banjir tak terelakan lagi.

Belum lagi, kita memang mempunya banyak kawah gunungg merapi, tetapi karena ulah lalim manusia. Penyangga bumi itu beralih fungsi menjadi malapetaka. Letusan lahar dingin daln lapa panas tak bisa dihindari lagi.

Bumi pertiwi ini juga punya banyak kandungan minyak tanah. Tetapi, benda ini juga bisa kapan saja menghilang dari pasar. Dan kalaupun ada, harganya bisa selangit. Rakyat kecil sering nanar dan kehabisan daya mencari energi ini.

Sebutan Negeri agraris pula tak bisa menyediakan beras untuk rakyatnya. Hingga harus di impor beras dari beberapa negara yang dulu belajar pertanian dari kita, seperti Thailand dan Vietnam.

Padahal Nenek moyang kita mewariskan tradisi mulia tersebut. Lantas kenapa harus meminta belas kasihan dari bangsa lain?

Tak hanya berhenti disini saja, bumi pertiwi ini juga punya banyak kandungan minyak tanah. Tetapi, benda ini juga bisa kapan saja menghilang dari pasar.

Kalaupun ada, harganya meroket tajam hingga selangit. Tentunya, rakyat kecil sering nanar dan kehabisan daya mencari energi ini.

Asal tahu saja, pada 2006 produksi CPO Indonesia mencapai 16 juta ton. Malaysia yang bertahun-tahun dikenal sebagai raja CPO, hanya 15 juta ton. Dengan potensi lahan kita yang amat luas, masih terbuka lebar produksi CPO Indonesia melaju terus. (Editorial, 11/06)

Beberapa hari, atau minggu lagi entah apa lagi yang akan sirna dari lintasan zamrud katulistiwa ini.

Bila dulu kita mengenal nyanyian `Tongkat dan tanam jadi impian`. Kini, rasanya tak ada lagi segala keindahan panorama Nusantara ini. Terlebih lagi saat penguasan dan masyarakatnya tal lagi memintingkan kelestarian alam sekitar.

Jika perilaku itu yang terus tertanam pada anak cucu kita, niscaya kehancuran negara bernama Indonesia ini sudah di ambang pintu. Lalu apa yang harus kita perbuat sebagai generasi penerus bangsa?

Belajarlah dengan sungguh-sungguh bagi pencari ilmu dan rawatlah alam raya ini layaknya memelihara diri sendiri.

Dengan demikian, sebutan negeri ironi tak akan melekat lagi di bangsa Indonesai ini. Semoga. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 11/06;06. 37 wib

Baca Selengkapnya......

Lagi HMI Dipertanyakan

HMI: Harapan Masyarakat Indonesia ?
Catatan 60 Tahun Himpunan Mahasiswa Islam (1947-2007)

Oleh Azhari Akmal Tarigan

Setelah harian Waspada merayakan hari ulang tahunnya yang ke 60, kini giliran HMI merayakan usianya yang ke 60 (5 Februari 1947-5 Februari 2007). Tentu saja dalam usia yang tidak lagi muda tersebut, HMI telah banyak berbuat untuk bangsa dan negara. Berbagai suka dan duka telah terekam dengan cukup baik dalam lembaran sejarah HMI. Tentu saja lembaran-lembaran sejarah tersebut tidak semestinya hanya dijadikan sekadar dokumen sejarah, namun lebih dari itu harus dijadikan cermin untuk mengaca diri sekaligus untuk mengukur sejauh mana cita dan harapan pendirinya telah terpenuhi oleh kader HMI saat ini.

Di antara catatan sejarah yang layak diangkat sekaligus dievaluasi oleh kader-kader HMI saat ini adalah apa yang pernah dinyatakan Jenderal (Besar) Sudirman yang mengatakan bahwa HMI itu adalah singkatan dari “Harapan Masyarakat Indonesia.” Tentu saja pernyataan Jenderal Sudirman tidaklah bermaksud untuk membuat kuping kader HMI berasap dan tidak pula untuk memuji dan menyanjung HMI. Pernyataan Jenderal Sudirman itu adalah kesimpulan dari apa yang dilakukan HMI pada masa-itu sekaligus sebagai harapannya untuk masa mendatang.

Setidaknya ada beberapa alasan yang membuat Jenderal Sudirman begitu sangat menaruh harapan kepada HMI. Seolah masa depan bangsa ini seluruhnya diserahkan di pundak HMI.

Pertama, HMI adalah organisasi mahasiswa yang independen, non praktis politik dan tidak pula menjadi onderbouw dari sebuah partai politik Islam sekalipun.

Kedua, HMI sejak awal telah menegaskan dirinya sebagai organisasi yang berasaskan Islam. Namun yang menarik adalah Ke-Islaman HMI tidak terikat dengan mazhab pemikiran mana pun, apakah dalam bidang fikih, kalam (teologi) ataupun tasawuf. Jadi semua aliran pemikiran yang ada di dalam Islam diberi ruang di HMI untuk berkembang. Namun dalam sejarah HMI, alih-alih aliran tersebut dapat berkembang, mazhab pemikiran yang masuk ke dalam HMI akhirnya “luluh” dalam sistem pemikiran HMI yang terangkum di dalam NDP (Nilai Dasar Perjuangan). Tegasnya, HMI memiliki penafsiran tersendiri tentang Islam yaitu, Islam dalam maknanya yang universal dan Islam yang tidak terjebak pada simbol dan segala bentuk formalisme keagamaan.

Ketiga, di dalam HMI Keindonesiaan, Kemodernan dan Keislaman adalah satu tarikan nafas. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Cita keislaman, kebangsaan dan Kemodernan menjadi satu kesatuan yang utuh. Adalah tugas HMI untuk menjadikan Islam menjadi ruh bagi Keindonesiaan tanpa terjebak kepada Arabisme. Pada saat yang sama, Islam yang telah mengindonesia dengan warisan kultural yang kaya tersebut harus dapat mengakomodasi pluralitas budaya yang masih sesuai dengan ruh syari’at dan dalam tingkat tertentu merekayasa peradaban modern.

Keempat, kemahasiswaan dan “kemudaan” HMI dengan segala karakter yang melekat di dalamnya seperti idealisme, kritisisme, intelektualisme dan progresifisme adalah modal yang cukup berharga untuk membangun bangsa ini ke depan. Terlebih-lebih pada masa awal perkembangannya, di mana Indonesia baru saja merdeka, kiprah “orang-orang” HMI yang unggul dalam sisi intelektual dan moral menjadi sangat diharapkan untuk mengisi kemerdekaan.

Empat alasan di atas tampaknya dijadikan dasar bagi Jenderal Soedirman untuk menyebut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Namun sejalan dengan usia HMI yang telah mencapai angka 60, suatu usia yang tidak lagi muda, ibarat manusia sudah mencapai usia senja, kita layak menganalisis dan mengkaji apakah harapan Jenderal Soedirman itu telah terwujud dan sesuai dengan kondisi riil HMI saat ini. Benarkan HMI menjadi tumpuan harapan masyarakat Indonesia?

Kondisi Kekinian
Melihat kondisi kekinian HMI, penulis dengan berat hati harus menyatakan, HMI saat ini sangat jauh dari harapan masyarakat. Jangankan menjadi harapan masyarakat Indonesia, jangan-jangan HMI telah dilupakan umat. HMI seakan ada namun tidak ada. Di dalam idiom bahasa Arab sering disebut, wujuduhu ka’adamihi (adanya sama seperti tidak adanya). Datang tidak menambah bilangan dan pulang tidak mengurangi jumlah.

Ironisnya tidak saja pandangan miring ini muncul dari masyarakat, tetapi juga muncul dari kader HMI sendiri. Saya terkejut beberapa adik-adik kader HMI yang datang dan berdiskusi dengan saya menyatakan, betapa saat ini terjadi kelesuan ber-HMI di kalangan mahasiswa termasuk di kampus Islam terbesar di Sumatera Utara. Mereka seolah kehilangan ghirah dan semangat berorganisasi. Mereka tampaknya lebih tertarik berorganisasi dengan keuntungan material yang langsung dapat diterima dan dirasakan. Tidaklah mengherankan banyak mahasiswa yang terlibat dalam suksesi Pilkada mendukung calon tertentu dan melakukan apa pun demi calon yang memberinya keuntungan material.

Tentu saja pandangan ini tidak menafikan sebagian kecil kader HMI yang masih mampu bertahan dan memelihara api HMI di dalam jiwanya. Merekalah orang-orang yang serius mengembangkan organisasi dan sangat memahami betul apa yang menjadi mission HMI itu sendiri. Merekalah yang bergelut dengan buku dan diskusi kritis tentang berbagai persoalan bangsa. Merekalah kader yang tidak bisa dibayar hanya untuk menyuarakan kepentingan tertentu. Sayang, jumlah mereka kecil dan suaranya sering tidak terdengar. Akhirnya mereka juga tenggelam karena kelemahan mereka sendiri dalam manajemen isu.

Oleh sebab itu, di usia yang ke 60 ini sungguh HMI seperti orang yang tua renta. Tidak berdaya di pusaran arus pragmatisme dan hipokritisme. Tentu saja kita tidak ingin HMI di usia senjanya harus mati dengan teragis. Tidak mampu mengukir nama besarnya di era kontemporer ini. Padahal seperti yang dikatakan Khalil Gibran dalam Sayap-Sayap Patah, hidup tidak lebih dari mengukir nama besar. Tentu dengan prestasi besar.

Perlunya Revitalisasi

HMI harus segera diselamatkan bukan saja karena HMI itu begitu penting posisinya dalam mempersiapkan kader bangsa, tetapi karena di dalam HMI sendiri bangsa ini pantas menaruh harapan besar, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Jenderal Soedirman. Kendatipun banyak organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra universiter, hemat saya HMI tetap memiliki keunggulan yang tidak dimiliki organisasi lainnya. Mungkin pernyataan ini terkesan subjektif. Namun berangkat dari beberapa penelitian baik dalam bentuk tesis ataupun disertasi, sebagian besar telah membuktikan keunggulan HMI dalam motor pembaharuan pemikiran Islam, terutama dalam konteks membangun hubungan yang harmonis antara keislaman dan kebangsaan di negara ini.

Keunggulan lainnya adalah dalam pola dan sistem perkaderannya yang sebenarnya masih sangat kuat. Kendati hari ini berkembang training-training motivasi, emosi dan spiritual, namun training HMI tetap memiliki kelebihan-kelebihan.

Kelebihan training-training HMI terutama training formalnya (juga yang informal) hemat saya terletak pada kemampuannya membuka mata kader-kader HMI untuk melihat potensi yang dimilikinya sekaligus mengembangkannya menjadi sesuatu yang luar biasa. Tegasnya, training HMI berhasil membuat kadernya menemukan kehebatan dirinya untuk selanjutnya digunakan untuk membangun bangsa dan umat dalam rangka mencari ridha Ilahi.

Keunggulan lain dari organisasi warisan Ayahanda Lafran Pane ini adalah watak dan sifatnya yang independen (hanif). Sebagaimana yang telah disebut di muka, HMI tidak bergerak dalam politik praktis dan tidak pula partisan. HMI tidak memiliki organisasi induk sebagaiman organisasi mahasiswa lainnya. Kendatipun sepanjang sejarahnya HMI telah ditarik ke kanan dan ke kiri oleh kepentingan politik tertentu, namun tetap saja tidak mampu merubah watak indenpendennya. Independensi HMI inilah yang membuatnya tidak memiliki beban apa pun (psikologis dan historis) untuk menyerukan kebenaran kepada siapa pun. HMI hanya tunduk pada kebenaran.

Sejatinya, kekuatan-kekuatan itulah yang harus dikembalikan ke dalam HMI. Selama ini kekuatan tersebut tidak muncul, karena kader-kadernya telah kehilangan orientasi dan tidak lagi berpijak pada mission HMI dalam melakukan perjuangan. Tawaran ini tidak berarti HMI kembali ke masa lalu. Hanya saja yang dimaksud dengan “kembali” adalah kembali pada nilai dasar, semangat dasar dan cita-cita dasar kelahiran HMI. Nilai dasar inilah yang selanjutnya ditafsirkan secara kontekstual dengan melihat fenomena kontemporer yang berkembang.

Penutup

HMI adalah aset bangsa yang tetap dibutuhkan bangsa ini. Oleh sebab itu kepada kader-kader HMI dan alumninya sudah masanya untuk “kembali bersungguh dengan HMI”. Sudah saatnyalah kita seluruh anggota dan alumninya kembali ke rumah besar HMI. Perbedaan organisasi politik dan paham keagamaan tidaklah menjadi alasan untuk berbeda. Kita dipersatukan oleh Tujuan dan misi HMI yaitu mewujudkan insan cita dan masyarakat cita HMI.

Dirgahayu HMI semoga usia yang tua tidak menjadikan HMI lemah dan renta. Mari kita rapatkan shaf untuk membangun bangsa yang bermartabat dan beradab. Hanya dengan cara inilah, HMI akan tetap menjadi Harapan Masyarakat Indonesia.

* Penulis adalah alumni HMI dan Dosen Fakultas Syari’ah IAIN.Surabaya

Baca Selengkapnya......
 
@Copyright © 2007 Depkoinfokom HMI Design by Boelldzh
sported by HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Kabupaten Bandung
Pusgit (Pusat Kegiatan) HMI Jl.Permai V Cibiru Bandung 40614
email;hmi[DOT]kab[DOT]bdg[ET]gmail[DOT]com