Thursday, June 25, 2009

Tanggapan Tentang Tulisan HTI

Liberalisme HMI

" tulisan ini di dapat dari http://hizbut-tahrir.or.id/2009/05/14/liberalisme-hmi/ "

Sebuah kesimpulan yang tak beralasan karena berangkat dari sebuah kekritisan kader HMI di sebuah training di Tasikmalaya, Jawa Barat

Saya tidak setuju syariah!” teriak salah seorang peserta sambil berdiri.

“Tahukah saudara-saudara, salah satu hukum syariah adalah potong tangan. Saya tidak mau dipotong tangannya.”

Lalu berdiri juga seorang peserta, “Saya juga tidak setuju.” Tak terduga, sesaat kemudian tindakan itu diikuti oleh hampir seluruh peserta yang juga sambil berdiri menyatakan ketidaksetujuannya terhadap ide penerapan syariah yang disampaikan oleh Jubir HTI.

Siapa mereka? Jangan salah, mereka bukanlah non-Muslim. Mereka adalah peserta Training LK (Latihan Kader) II HMI beberapa waktu lalu. Ini adalah forum training lanjutan tingkat nasional yang diikuti oleh kader-kader HMI dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Kali itu diselenggarakan di Kota Tasikmalaya.

Reaksi semacam ini tentu sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin kader HMI menolak syariah?

Mereka umumnya menolak mentah-mentah ide khilafah. Itu dikatakan sebagai ide yang absurd, tidak jelas dan utopis. Mereka menilai, demokrasi tetaplah yang terbaik. “HTI beruntung dengan demokrasi. Semasa Soeharto, HTI tidak dapat hidup. Maka, HTI harus berterima kasih pada demokrasi,” cetus salah seorang peserta.

Ada juga peserta yang setuju syariah, tetapi tetap menolak ide khilafah. “Saya setuju syariah diterapkan. Tapi tidak setuju khilafah karena banyak perbedaan, banyak mazhab yang masing-masing akan mempertahankan pendapatnya sehingga terjadi perpecahan,” kata Mahrus, peserta dari Cilegon.

Senada dengan Mahrus, Ahmad Faiz juga menyatakan setuju syariah, tetapi khilafah tidak. Lagi pula, katanya, khilafah menurut siapa? “Apa mungkin umat Islam hidup dalam satu pemimpin?” tanyanya ragu. Di dalam al Quran, menurutnya, juga tidak ada perintah untuk mendirikan Khilafah. Dulu yang ada adalah kerajaan. Tidak ada konsep khilafah.

Soal ketakutan bahwa ide khilafah bakal menimbulkan persoalan, diungkap juga oleh Zulham, peserta dari Kendari. “Secara pribadi saya setuju. Tapi saya menilai dari internal umat bakal akan ada perlawanan. Dengan kondisi bangsa yang beragam, apa ide itu bisa diterapkan? Apa bukan akan menimbulkan benturan?”

Memang, peserta melihat bahwa antara khilafah dan demokrasi tidak dapat dipertemukan. Menurut Samsulhadi, peserta dari Lombok, tata kenegaraan yang ada harus didekonstruksi, karena akan benturan dengan ide syariah dan khilafah.

Mereka juga mempertanyakan kelayakan syariah untuk diterapkan di Indonesia. “Syariah apa cocok untuk Indonesia yang heterogen?” tanya Rake, peserta dari Semarang.

Hal serupa diungkap oleh Ali Muhson, peserta dari Jawa Timur. Sama dengan pemikiran tokoh-tokoh Islam liberal, mereka setuju syariah, tetapi hanya sebatas nilai-nilainya saja. Misalnya, nilai keadilan. Tidak perlu menggunakan label Islam.

Sesungguhnya konsep khilafah bukan saja sudah ada, bahkan juga sangat jelas. Puluhan buku telah ditulis oleh para ulama pada masa lalu tentang masalah ini. Buku-buku seperti Al-Ahkam as-Sulthâniyah karya al-Mawardi atau Abu Ya’la, juga Siyâsah Syar’iyyah-nya Ibnu Taimiyyah, apalagi kitab Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm karya Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani mampu menggambarkan dengan sangat gamblang konsep khilafah. Mungkin saja ada perbedaan di antara para ulama tentang konsep detilnya, tetapi konsep-konsep dasar utamanya mengenai prinsip kedaulatan (as-siyâdah), kekuasaan (al-sulthah), kesatuan kepemimpinan dan hak tabanni pada khalifah, pastilah sama meski dalam buku-buku itu dibahas dalam istilah yang berbeda-beda. Karena itu, tidak perlu dikhawatirkan adanya perbedaan konsep, apalagi dikhawatirkan bakal munculnya kekacauan atau perpecahan. Lagi pula, fakta sejarah menunjukkan, konsep khilafah itu bisa diterapkan dengan baik. Menurut para sejarahwan, paling sedikit selama 700 tahun dari era kejayaan Islam disebut sebagai the golden age.

Soal pluralitas atau heterogenitas Indonesia tidaklah semestinya menjadi penghalang untuk penerapan syariah, karena memang Islam dengan syariahnya tidak hanya diturunkan untuk umat Islam saja. Menurut al-Quran, Nabi Muhammad diutus untuk seluruh umat manusia sehingga syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah juga berlaku untuk Muslim maupun non-Muslim. Bagaimana teknisnya? Dalam kehidupan pribadi, menyangkut masalah akidah/keyakinan serta ibadah, makanan, minuman dan pakaian tiap orang diberi kebebasan untuk memprkatikannya sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Namun, dalam kehidupan publik, menyangkut aspek ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan, serta hukum dan sanksi, syariah Islam berlaku atas semuanya, baik atas Muslim maupun non-Muslim. Ketika misalnya pendidikan diselenggarakan tanpa biaya, maka ini berlaku untuk Muslim dan non-Muslim. Ketika seorang non-Muslim membunuh Muslim tanpa alasan yang benar, maka ia akan dihukum sebagaimana ketika Muslim membunuh non-Muslim tanpa alasan yang benar. Demikianlah Islam mengatur masyarakat heterogen dengan syariah. Kemampuan Islam mengatur masyarakat semacam itu telah terbukti dalam sejarah. Bahkan bisa dikatakan seluruh masyarakat Islam di masa lalu adalah heterogen.

Tentang hukum potong tangan, yang dipertanyakan dalam LK II HMI di Tasikmalaya, dijelaskan bahwa itu adalah bagian dari ‘uqûbât atau sanksi dalam Islam. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan hukum syariah disebut sebagai jarîmah atau kejahatan. Setiap jarîmah pasti akan dikenai hukum atau diberi sanksi. Orang yang terbukti mencuri lebih dari seperempat dinar, misalnya, akan dipotong tangannya.

Benar, ‘uqûbât dalam Islam memang tampak sangat keras, dan mungkin membuat kebanyakan orang merasa sangat ngeri sehingga akan cenderung menolak. Namun, jika dipahami dengan sungguh-sungguh, nyatalah bahwa ‘uqûbât itu sesungguhnya memiliki falsafah yang luar biasa mulia. ‘Uqûbât dalam Islam berfungsi sebagai zawâjir (pencegah) dan jawâbir (penebus). Pada masa Nabi saw., ada seorang seperti al-Ghamidiyah dan Maiz bin Malik yang ngotot untuk mendapatkan hukuman rajam atas kekhilafan mereka berzina. Mengapa mereka bersikeras menuntut rajam? Mereka sadar benar, hanya dengan cara menerima hukuman sesuai dengan ketentuan syariah sajalah mereka akan terbebas dari hukuman di akhirat yang jauh lebih keras daripada hukuman di dunia.

Secara empirik, hukum sekular telah gagal mencegah terjadinya kejahatan. Ini terbukti dari terus meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan dari waktu ke waktu. Hukum sekular itu tentu juga tidak akan bisa berfungsi sama sekali sebagai penebus terhadap siksa di akhirat. Karenanya, dengan hukum sekular itu sebenarnya tidak ada satu pun pihak yang diuntungkan. Masyarakat tidak diuntungkan karena harta, jiwa dan kehormatan mereka tidak terlindungi. Pemerintah juga tidak diuntungkan karena kualitas dan kuantitas kejahatan terus meningkat sehingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Penjara yang ada pun tidak lagi mampu menampung para penjahat. Yang pasti, hukum sekular tidak menguntungkan pelaku kejahatan karena hukuman itu tidak bisa menjadi penebus buat hukuman di akhirat kelak.

“Bila tidak ada yang diuntungkan, mengapa kita masih saja terus mempertahankan hukum semacam ini?” sergah Jubir HTI di akhir penjelasannnya.

Tanpa menunggu reaksi lebih lama, Jubir HTI dengan agak sedikit berdiri lantas menggebrak keras meja di depannya. Setengah berteriak ia mengatakan, “Siapa sekarang yang tetap tidak setuju syariah?”

Seluruh peserta LK II HMI di Tasikmalaya diam membisu. Tidak ada satu pun yang bersuara. Semua tampak diam menunduk. Tiba-tiba, ada satu peserta berdiri sambil menunjukkan jari berkata, “Saya setuju.” Tak berapa lama, berdiri lagi satu peserta, “Saya juga setuju.” Lalu segera diikuti oleh hampir seluruh peserta, “Kami setuju! Kami setuju!” “Allahu Akbar….!!!”

Suara takbir segera memenuhi ruangan training yang tidak terlalu besar itu. Subhanallah, mereka cepat sekali bisa berubah. Ternyata, penolakan dan persetujuan hanya dibatasi oleh penjelasan.

Usai acara, peserta beramai-ramai minta foto bersama. Ketika acara pemberian cindera mata hendak dilakukan, peserta berebut ingin menyerahkannya kepada Jubir HTI. Akhirnya, Jubir HTI minta cindera itu diletakkan saja di atas nampan, dan peserta bersama-sama membawa nampan itu ke depan. Jubir lantas mengambil cindera mata yang diletakkan di atas nampan itu.

Di sinilah pentingnya dakwah fikriyah dan dakwah siyâsiyah yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia secara konsisten kepada semua lapisan umat. [Kantor Jubir HTI-Jakarta].


Mohon Tanggapannya....

By : Jatnika Sadili

Baca Selengkapnya......
 
@Copyright © 2007 Depkoinfokom HMI Design by Boelldzh
sported by HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Kabupaten Bandung
Pusgit (Pusat Kegiatan) HMI Jl.Permai V Cibiru Bandung 40614
email;hmi[DOT]kab[DOT]bdg[ET]gmail[DOT]com