Sunday, April 29, 2007

Menggugat Ideologi

Mahasiswa Bergerak Tanpa Idiologi ?
Oleh Ubedilah Badrun

Ada banyak argumentasi yang coba dijelaskan tentang bergeraknya mahasiswa oleh banyak ahli politik, sosiologi maupun psikologi, pengamat gerakan mahaiswa, atau bahkan mahasiswa itu sendiri. Ernest Mandel misalnya ketika berpidato di New York University tanggal 21 september 1968 dalam pertemuan Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner, bercerita seperti berikut ini :“Beberapa hari yang lalu, ketika berada di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa.

Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu secara mendasar bersifat material. Tetapi bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan, bukan karena mereka diperlakukan seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas”.(indomarxist.net, 2002).


Sekalipun kemudian Ernest Mandel tidak dapat menerima definisi yang non-Marxis tentang proletariat tersebut, Mandel kemudian berpikir bahwa pengajar yang dinilainya pengajar borjuis tersebut sebagian telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa. Struktur universitas borjuis katanya hanyalah cerminan dari struktur hierarki yang umum dalam masyarakat borjuis, keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadar­an sosial yang masih rendah itu.

Pada analisis Mandel yang dikemukakan di atas setidaknya penulis menemukan satu perspektif faktor dengan pendekatan ideologi Marxist yang kental bahwa faktor bergeraknya mahasiswa sesungguhnya tidak lepas dari hierarki masyarakat borjuis yang melingkupinya. Meski analisis ini Marxist, penulis melihatnya sebagai satu argumentasi yang rasional ketika argumentasi tersebut dibangun atas realitas sebuah bangsa yang menampilkan satu rejim borjuis. Apa yang dikemukakan pengajar Kanada yang dinilai Mandel sebagai pengajar borjuis tersebut adalah realitas yang memang berkembang di masyarakatnya saat itu, bahwa telah tercipta sejenis proletariat di Universitas. Artinya sang pengajar tersebut mencoba berfikir dari hal yang paling realistis terjadi di universitas. Dan bisa jadi untuk kasus Indonesia, perspektif proletariat universitas itu menjadi lebih realistik dan fungsional. Bukankah para mahasiswa Indonesia secara umum juga adalah proletariat?. Hal ini tidak hanya karena kultur universitas yang masih hierarkhis borjuis, tetapi juga akibat krisis berkepanjangan yang secara ekonomi menurunkan kemampuan ekonomi mahasiswa, baik yang masih bergantung pada orang tua maupun yang mencoba bekerja paruh waktu atau di sela-sela kuliahnya.

Hal-hal realistik yang dihadapi mahasiswa seringkali juga lebih kuat menjadi faktor pendorong dari munculnya gerakan mahasiswa. Arbi Sanit misalnya mengemukakan bahwa ada lima faktor yang menjadikan mahasiswa peka dengan masalah kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. (lihat Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik, 1999 ).Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak diantara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit dikalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat.

Faktor-faktor di atas sesungguhnya secara langsung maupun tidak langsung turut memberi kontribusi bagi terbentuknya semacam ideologi mahasiswa. Artinya faktor ideologi kemudian bisa mempengaruhi bagaimana mahasiswa bergerak. Pertanyaannya “Apakah betul mahasiswa bergerak karena punya ideologi?”. Beberapa tahun yang lalu ketika penulis melakukan diskusi-diskusi politik di wilayah Rawamangun, Matraman, Salemba, Duren Sawit, Tanah Abang, Kemayoran, ataupun Kemandoran, sempat terlontar pernyataan yang bernada protes, “ Emang mahasiswa bergerak pake ideologi?” “ wong mahasiswa demonstrasi hanya ikut-ikutan kok, biar seru aja, atau hanya karena ada seseorang yang dikaguminya?”. Kalimat bernada protes itu sedikit banyak ada benarnya, bahwa bisa jadi mahasiswa bergerak itu hanya karena hal-hal yang artifisial tersebut. Meski kemudian nada protes itu berubah menjadi nada tertawa.

Tetapi barangkali kita coba perlu arif untuk menempatkan satu wacana teoritik bahwa antara tindakan dan ideologi sesungguhnya berjalan sering bergantian, kadang tindakan berjalan di depan ideologi atau kadang juga ideologi berjalan di depan tindakan. Itulah yang sesungguhnya terjadi. Karena itu mencoba melihat gerakan mahasiswa dalam satu perspektif ideologi menurut hemat penulis tidak ada salahnya. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan sejauhmana ideologi mempengaruhi gerakan mahasiswa.

Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. (Franz Magnis Suseno, 1992).

Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.

Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga seringkali dipahami sebagai istilah yang abstrak. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan lainnya. Menurut Antonio Gramsci, ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999)

Secara sederhana, Franz Magnis Suseno mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.

Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.

Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.

Dari beberapa pengertian ideologi sebagaimana dijelaskan di atas, nampak terihat adanya suatu korelasi antara tindakan dan ideologi, artinya tindakan seringkali terjadi merupakan representasi dari ideologi atau seringkali bersumber dari sebuah ideologi yang dimiliki seseorang atau komunitas masyarakat. Dalam konteks ini, fenomena gerakan mahasiswa Indonesia bisa jadi dilatari oleh ideologi-ideologi yang dimilikinya. Meskipun kepemilikan ideologi tersebut hanya dimiliki oleh sejumlah elit atau pemimpin dari gerakan mahasiswa.

Pertanyaannya adalah “ Apa bukti yang menguatkan bahwa mahasiswa bergerak dengan ideologinya?”. Kalau dicoba ditelusuri, maka sebetulnya secara sederhana bisa di lihat dari tindakannya atau gerakan yang dilakukannya. Hal ini bisa di lihat lebih tajam lagi ketika pada gerakan mahasiswa Indoesia terjadi polarisasi hingga kemudian mengkristal secara ekstrim membentuk beberapa tipologi gerakan mahasiswa, yakni antara pragmatis, realis-kritis, dan radikal-revolusioner sebagaimana yang telah disinyalir sejumlah media massa pada november 1998, yang kemudian di coba dirumuskan rasionalisasinya antara lain oleh Adi Suryadi Culla. Dengan tipologi tersebut sesungguhnya dalam perspektif penulis sendiri, tidak hendak mengklasifikasikan gerakan mahasiswa seperti mengklasifikasikan politik aliran yang dilakukan oleh Clifort Gerzt, tetapi lebih melihat klasifikasi ideologi dalam salah satu pengertian bahwa ideologi sebagai sistem penjelas tentang proyeksi masa depan sebagaimana dijelaskan Franz Magnis Suseno di atas, artinya mirip dengan gagasan tentang masa depan. Atau dalam konteks gerakan, tepatnya diistilahkan dengan cita-cita politik atau gagasan politik.

Jika dipahami dari konteks itu, maka fenomena gerakan mahasiswa era 90-an hingga 2000-an sesungguhnya hanya bisa diklasifikasikan dalam dua klasifikasi. Dua klasifikasi tersebut adalah, pertama, gerakan mahasiswa yang masuk dalam kategori gerakan mahasiswa realis-kritis, dan kedua, gerakan mahasiswa radikal-revolusioner. Gerakan mahasiswa realis-kritis ini adalah mereka yang berfikir realistik tetapi sambil mengusung sejumlah agenda politik dengan cara-caranya yang kritis. Artinya gerakan mahasiswa mirip di posisikan sebagai koboi sebagaimana yang pernah di ulas So Hok Gie mengutip siaran radio Ampera dalam Zaman Peralihan. Bahwa perjuangan mahasiswa adalah seperti perjuangan Koboi. Seorang Koboi datang disebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota ini sedang merajalela perampokan, perkosaan, dan ketidakadilan. Koboi ini menantang sang bandit berduel, dan ia menang. Setelah banditnya mati, penduduk kota yang ingin berterima kasih mencari sang Koboi. Tetapi ia telah pergi ke horizon yang jauh. Ia tidak ingin pangkat dan sanjungan. Ia akan datang lagi kalau ada bandit-bandit lain yang berkuasa. Ini yang kemudian dikenal sebagai moral force. (Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Gagasa Media, 2005).

Sementara gerakan mahasiswa radikal-revolusioner adalah mereka yang berfikiran radikal, mempunyai cita-cita radikal, dan bertindak revolusioner. Artinya gerakan mahasiswa tidak sekedar moral force tetapi sudah masuk dalam kategori gerakan politik nilai atau sebuah gerakan politik yang radikal untuk menerapkan cita-cita (nilai) yang diinginkanya. Ini yang kemudian disebut values political movement. Pada gerakan mahasiswa radikal-revolusioner ini, pada titik tertentu dia bisa bergeser menjadi power political movement atau sebuah gerakan politik untuk merebut kekuasaan. Pada kategori kedua ini nampak ada basis idiologi yang kuat dalam pergerakannya. Sebab organisasi pergerakan mahasiswa yang berbasis idiologi adalah mereka yang terus berjuang mencapai cita-cita idiologisnya.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah organisasi gerakan mahasiswa semacam HMI MPO, FKSMJ, FORKOT, BEM, dan KAMMI bergerak akibat “ideologi” yang dianutnya?. Ataukah, justru mereka bergerak sesungguhnya dengan ideologi “ tanpa ideologi”?. Mereka bergerak hanya sebagai rutinitas roda organisasi. Lalu, adakah organ gerakan mahasiswa saat ini yang berbasis Idiologi yang terus bergerak memperjuangkan cita-cita idiologisnya? Layakah mereka menyandang sebagai organisasi pergerakan, lalu diam, sementara ketidakadilan, fenomena rakyat miskin dan pengangguran terus bertambah jumlahnya di Republik ini !

***

Ubedilah Badrun, pengajar sosiologi politik UNJ dan pemerhati gerakan sosial politik di Indonesia.

Baca Selengkapnya......

Friday, April 27, 2007

Islam Lokalitas

Islam Lokalitas; Menjadi Islam Tanpa Menjadi Arab
Oleh Kasman

Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Texere vol. III Zulqa’dah 1424 H/Januari 2004 M dengan judul “Islam Lokalitas; Menjadi Islam Tanpa Menjadi Arab”. Tulisan ini mengulas tentang sebuah mode berislam yang lebih mengakomodir konteks dan realitas kebudayaan lokal

Ada sebuah pemeo yang berkembang bahwa seorang aktivis Islam akan diragukan keislaman gerakannya kalau ternyata aktivis tersebut gagap dalam menggunakan istilah-istilah yang islami. Bahkan kata sahabat –yang dari sononya sudah arab— dianggap belum islami kalau tidak diganti dengan ikhwan. Apatah lagi dengan istilah yang lain. Kalau aktivis tersebut tidak fasih menyebut kata ukhti/akhi, afwan, syukron dan lain sebagainya, maka aktivis tersebut diragukan ke-ikhwan-annya.

Pada kasus ini, nampak jelas adanya upaya untuk menjalankan proses islamisasi diseluruh sektor kehidupan termasuk bahasa. Proyek untuk mensosialisasikan “dimensi keislaman” sebagai “budaya alternatif” telah merambah bahasa dengan adanya upaya meng-islam-kan bahasa lokal agar menjadi islami.

Dalam kerangka pikir ini, penampilan Islam menjadi “budaya ideal” yang begitu agung dan luhur berdampak nehatif dalam hubungannya dengan budaya lokal. Akibatnya budaya lokal menjadi tersisih dan diposisikan sebagai budaya yang usang dan patut ditinggalkan. Bahkan lebih jauh budaya lokal terdefinisikan sebagai sumber takhyul, bid’ah dan khurafat yang harus dilenyapkan.

Menjadi Islam; Gimana Dong?
Seorang teman pernah mengatakan bahwa sesungguhnya manusia itu lucu dan sekaligus membingungkan. Lucu karena mereka menganggap bahwa mereka membutuhkan Islam dan yang membingungkan bagi teman tersebut, karena dalam memenuhi kebutuhannya akan Islam, mereka selalu mencari islam dimana-mana. Buat apa mencari Islam, kata teman tersebut, kalau membutuhkan Islam, berhentilah mencarinya dan menjadilah Islam.

Dalam kerangka pikir sederhana, kata-kata teman diatas menjadi sangat sulit untuk diterima. Apakah mungkin manusia berhenti saja mencari Islam dan menjadi Islam? Lalu bagaimana caranya? Padahal jelas bahwa Islam itu lain, manusia yang mau menjadi Islam itu lain. jadi ada jarak disini, itu kalau kita berfikir secara sederhana.

Kalau kita menganalisisnya secara lebih mendalam, kita akan bersentuhan dengan pemikiran Al Jabiri tentang nalar arab yang membangun cara-corak berislam umat islam sampai pada hari ini. Al Jabiri mengatakan bahwa umat Islam, dalam melakukan pembacaan terhadap Islam, mereka menggunakan tiga macam kerangka pikir yang disebutnya Akal atau Nalar.

Al Jabiri(1) mengklasifikasi akal arab menjadi tiga tren, yaitu; akal retoris (Al “Aql Al-Bayani), akal gnostis (Al ‘Aql Al-Irfani) dan akal demonstratif (Al “Aql Al-Burhani). Bangunan akal inilah yang akan kita gunakan dalam menganalisis lebih jauh tentang bagaimana caranya menjadi Islam.

Menjadi Islam atau Menjadi Arab
Seperti apasih cara menjadi Islam yang baik? Mungkin pertanyaan ini adalah pertanyaan yang senantiasa menghantui hati nurani anda ketika anda berusaha menjadi Islam yang baik dan benar. Berbagai cara berkecamuk dan saling memperebutkan tawaran cara, namun semua itu tentu tetap menyisakan pertanyaan mendalam. Yang akan diulas pada bagian ini adalah menjadi Islam dengan menjadi Arab.

Diktum ini berarti bahwa untuk menjadi Islam yang baik, maka seseorang harus “menjadi Arab”, ini berarti bahwa sesungguhnya tidak ada keterpisahan antara Islam dengan Arab sebagai budaya kandungnya. Cara berpikir inilah yang dikenal dengan akal retorisnya Al Jabiri. cara berfikir sederhana akal ini adalah bahwa untuk menjadi Islam yang baik, maka seseorang harus mempelajari Islam dari sumber dasarnya.

Sementara itu sebagaimana mahfum, sumber dasar Islam adalah Al Qur’an yang dari sono-nya berbahasa arab. Sementara itu, bahasa arab yang genuine adalah bahasa arab badui yang belum terpengaruh dengan bahasa-bahasa diluarnya yang sudah melakukan hubungan yang lebih intens dengan pihak luar. Jadi untuk memahami secara mendalam Islam, kuasailah bahasa arab.

Akibat dari logika berpikir seperti ini adalah “perspektif pemikiran ilmu-ilmu agama (ilmu kalam dan ilmu fiqh) tidak mampu melepaskan diri dari prinsip-prinsip dasar bahasa arab yang merupakan warisan akal arab badui yang tidak melihat adanya hubungan kausalitas antara kata dan makna. Akan tetapi, hubungan di antara keduanya sekedar hubungan kedekatan terpisah”(2).

Implikasi lebih jauh dari akal ini adalah :
“Mereka juga telah memfungsionalisasikan secara simbolis prinsip retoris tersebut dalam memahami pesan-pesan kosmologis, keilmuan dan teologis Al Qur’an dan akibatnya pesan-pesan tersebut tidak mampu keluar dari kungkungan kekuasaan akal jahiliah dalam upaya untuk melebarkan jangkauan misi pembebasan manusia dari alam kegelapan menuju alam ketentraman”.(3)

Cara berpikir Islam model ini adalah cara berpikir yang menganggap bahwa ada pemilahan yang tegas antara budaya Islam dengan budaya yang tidak islami, disamping itu juga tidak dilakukannya pemilahan yang jelas antara Islam sebagai nilai dengan budaya arab sebagai ranah budaya dimana nilai Islam pertama kali di praxiskan. Sebuah pemikiran yang sebenarnya menganggap bahwa arab itu identik dengan Islam.

Jadi untuk menjadi Islam, diukur pada sejauh mana seseorang itu mampu menjalankan “dimensi Islam” dalam seluruh sektor kehidupannya. Semisal, penyebutan ikhwan dan akhwat untuk para aktivis gerakan Islam. Panggilan ukhti dan akhi dalam komunitas mereka, pada akhirnya menjadi alat identifikasi pragmatis atas keislaman seseorang.

Menjadi Islam atau Memupuk Irasionalitas
Berbicara tentang Islam yang baik menjadi makin menarik ketika sekelompok umat Islam mencoba mengembangkan Islam dengan menundukkan rasio dibawah sesuatu yang bersifat irasional. Proses rasionalisasi digunakan hanya untuk mengantar pada sebuah kesimpulan keberagamaan yang bersifat irasional. Corak berislam seperti ini ditemukan dalam gerakan “gnostikisme”.

Menurut Al Jabiri, sebagai aktivitas kognitif, gnostik berarti sesuatu yang dikatakan oleh para pemeluknya sebagai al-kasyf (unveiling, decouverte) dan al-‘ayan (intuisi). Sebagai lapangan kognitif, gnostik adalah sinkretisme dari legenda, kepercayaan dan mitos berbaju agama yang dijadikan legitimasi pembenaran dari apa yang diyakini oleh pemeluknya sebagai pengertian esoteris yang tersembunyi di balik wujud eksoteris dari teks agama(4).

Cara berfikir keislaman seperti ini telah melahirkan corak Islam yang cendrung irasional. Dari sudut pandang kebudayaan, Islam corak ini melahirkan budaya masyarakat yang penuh dengan mistisisme dan keajaiban, cerita-cerita kehebatan para wali mrenjadi sangat heroik dan mengagumkan. Alat ukur keberislaman seseorang diukur dengan ukuran-ukuran yang berisfat intuitif dan sejauhmana mereka mengalami proses mukasyafah.

Menjadi Islam; Mempraktekkan Rasionalisme Kritis
Semangat untuk kembali menjadikan Islam mampu mewarnai peradaban manusia hari ini telah mendorong para intelektual Islam mencari berbagai macam formula untuk merangsang kebangkitan itu. Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab adalah apa jawaban Islam terhadap modernitas, dan sejauhmana jawaban yang diberikan itu tidak mencerabut Islam dari akar tradisinya?

Al Jabiri dengan begitu keras meneriakkan “. . ., tidak ada jalan lain menuju modernisasi kecuali berpaling kedalam legasi pemikiran kita dengan menggali potensi yang kita miliki sendiri”(5). Beliau mengajak umat bahwa untuk menjadi Islam yang baik, maka beliau mengajak kita untuk berpegang kepada bagian yang paling substansial dari khazanah Averroisme, yaitu semangat rasionalisme kritis yang memproduksi pemikiran baru, bukan sekedar mengambil bagian formalnya, yang dalam hal ini adalah produk-produk pemikirannya(6).

Cara berfikir ini menekankan bahwa untuk menjadi Islam yang baik bukan dengan mengikuti ataukah mengamini apa yang telah dihasilkan oleh para pemikir kritis pada zaman dulu seperti Ibn Rusyd dan Ibn Hazm, melainkan bagaiman semangat mereka itu, umat dapat bangkit dan berfikir demi masa depannya. Jadi, kebangkitan Islam dapat dilakukan dengan menganilisa secara kritis masa lalu kemudian melampauinya.

Dengan terbukanya ruang untuk berfikir secara kritis itu, maka semua level umat akan memiliki-mempunyai kesempatan untuk memikirkan proyek masa depannya. Setiap sektor umat akan menjadi wahana bagaimana Islam dikembangkan dan disebarkan. Islam akan hadir dalam bentuk kait-kelindan dengan tradisi dan budaya lokal dimana Islam didedahkan tanpa harus menjadi sebuah bangunan sinkretisme mistis. Bahkan Islam menjadi sebuah wadah yang begitu terbuka untuk proses kontestasi.

Islam Tanpa Sentrum; Belajar Dari Seni
Menjadi Islam tanpa menjadi arab, akan melepaskan Islam untuk berselingkuh dengan bangunan budaya lokal dimana nilai Islam didedahkan dan dipaparkan. Dalam kondisi ini, islam menjadis eperti lepas dari pondasi budaya ibunya selama ini, yakni budaya arab. Inilah Islam tanpa sentrum.

Islam tanpa sentrum maksudnya bahwa sebenarnya islam adalah sebuah nilai universal yang berhak dan mampu ditampung oleh budaya dikawasan manapun di dunia ini. Cara berislam seperti ini banyak di dorong oleh pemnganut pemikiran posttradisionalisme Islam. Strategi Islam tanpa sentrum ini adalah strategi pribumisasi Islam.

Disamping itu, Islam tanpa sentrum sangat kontra-produktif dengan strategi puritanisasi dan modernisasi. Strategi puritanisasi merupakan sikap yang sangat ekstrim dan tidak bersahabat dengan lokalitas yang ada. Bahkan menurut Ahmad Baso, mereka ingin menggantikan lokalitas dengan alternatif yang lebih murni dan asli Islam(7).

Disamping itu strategi ini bahkan bisa membuat masyarakat lokal mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri, karena mereka dipaksa meninggalkan budaya local yang selama ini menjadi perekat kognisi sosial dan penghubung kedekatan psiko-sosial yang mereka miliki, namun mereka masyarakat tidak diberi tawaran budaya baru yang bisa mereka jadika sebagai pengganti dari budaya kandung mereka yang diberangus.

Islam dengan wajah puritanisme mebuat masyarakat-komunitas lokal mengalami shock culture yang sangat keras. Menurut Baso, kekuatan ini merupakan kekuatan yang berupaya mendisiplinkan dan mengontrol produksi kebudayaan dan ekspresi keagamaan(8). Masih menurut Baso, ini nampak pada semangatnya menjaga “kemurnian” dan “keaslian”, sementara sasarannya adalah pengaturan produksi dan konsumsi masyarakat lokal(9).

Strategi lain yang sangat sentralistik dan mengedepankan Islam sentrum adalah gerakan modernisasi. Corak strategi ini memang tetap memberi ruang aktualisasi bagi budaya lokal, tapi budaya lokal itu harus mengalami islamisasi. Seperti missal, kesenian tari-tarian, memang tetap diberi ruang untuk berkembang, tetapi penari perempuan diwajibkan memakai jilbab.

Antara puritanisasi dan modernisasi tetaplah merupakan upaya pemurnian dan pengaslian warna Islam masyarakat yang sangat arab sentris. Hal ini karena, kalau berbicara tentang budaya Islam, maka pertanyaan mendasar adalah budaya mana yang paling representatif mewakili budaya Islam? Sementara kita akan kesulitan untuk mengklaim bahwa ada budaya yang bisa dikataan sebagai budaya Islam yang genuine yang terpisah dari lokalitas manapun.

Bahkan menurut K.H. Abdurrahman Wahid(10), ada dua aspek penting yang selama ini kurang diperhatikan dalam berbincang tentang hubungan antara Islam dan seni, yaitu :
1. belum jelasnya pembagian wilayah antara seni dan agama dalam Islam, termasuk “pembidangan” antara wilayah kesenian Islam dan kesenian bukan Islam
2. kaitan antara ajaran Islam disatu pihak dan pandangannya tentang seni di pihak yang lain.

Problem terbesar ketika kita mencoba mengajukan tawaran Islam tanpa sentrum, karena seni berbicara tentang keindahan dan mungkin bahkan kadang-kala sangat erotis, nah sementara itu, wilayah inlah yang paling banyak diatur oleh Islam, atau meminjam bahasa Gus Dur;
“sensualitas dan naluri erotik adalah bagian inherent dari kehidupan manusia, dan seni mau tidak mau harus “merekam”-nya sebagai ekspresi visual, padahal visualitas dan hal-hal erotis justru lapangan yang “paling diatur” oleh Islam”(11)

Islam tanpa sentrum tentu akan memberi ruang lebih luas kepada seni untuk menjadi ranah aktualisasi potensi kemanusiaan yang paling sublim dan mendasar seperti dikatakan Kuntowijoyo, seni mampu meruntuhkan mitos, dimana mitos merupakan abstraksi dari yang konkrit sementara seni membalikkan keadaan ini, karena seni justru merupakan upaya konkretisasi dari yang abstrak(12). Atau nasehat bijak Gus Dur;
“. . . pemberian otonomi penuh kepada seni sebagai bidang kehidupan yang dalam analisa terakhir tokh akan membawa manusia kepada kesadaran akan kebenaran Allah, karena Ia-lah keindahan mutlak yang memberikan inspirasi bagi ekspresi seni”(13)

Islam Lokalitas; Islam Pribumi
Upaya untuk menghadirkan wajah Islam dalam pakaian-pakaian lokal menjadi pembicaraan yang menarik bila diperhadapkan dengan strategi pemurnian dan pengaslian ajaran islam melalui formalisasi ajaran Islam oleh sebagian gerakan puritanisasi dan modernisasi Islam. Apakh memang ada celah untuk menjadi islam yang baik dengan wajah local masing-masing merupakan pertanyaan yang coba dijawab oleh lokalitas-lokalitas yangselama ini dibungkam dan dipinggirkan serta tidak siberi ruang ekspresi yang luas, padahal mereka adalah anak kandung sejarah yang tidak bidsa dinafikan.

Berbicara tentang lokalitas ini secara serius bila dikaitkan dengan doktrin keislaman, Ahmad Baso menulis;
“dalam satu sei Pengajian Agama dan Kebudayaan “Pribumisasi Islam” yang dilaksanakan oleh Desantara, Juli 2002 lalu, Azyumardi Arza mengatakan “Islam pada akhirnya memang fenomena lokal”. Karena menurutnya, apa yang disebut dengan yang local itu adalah suatu realitas historis dan sosiologis-kultural. “Bahkan dalam konteks Al-Qur’an, ayat-ayatnya sangat lokal” katanya. “jadi sesungguhnya yang lokal-lokal itu diakui dalam agama”(14)

Islam Pribumi yang selama ini dicap merupakan Islam yang penuh dengan takhyul, bid’ah dan khurafat, ternyata merupakan anak sah dari Islam. Sehingga amatlah riskan kalau gerakan kebangkitan Islam lokalitas diangap sebagai makin menurunnya “dimensi keislaman” dalam budaya lokal. Karena sesunguhnya, yang berkurang dari Islam pribumi bukanlah “dimensi Islam” melainkan “dimensi Arab”.

Hal ini karena dalam pemahaman Islam dominan selama ini, perbedaan antara Islam dan Arab hampir-hampir tidak dapat dilakukan (atau sengaja tidak dilakukan?) dan ini menjadi ladang empuk terjadinya homogenisasi kebudayaan yang ujung-ujungnya berakibat pada munculnya hegemoni kebudayaan. Kebudayaan membawa muatan dominatif.

Dalam konteks seperti inilah pribumisasi Islam menemukan muaranya, karena sebagaimana disinyalir Baso, pribumisasi Islam bukan hanya menawarkan alternatif perspektif terhadap subalternity, kemarjinalan, lokalitas atau etnisitas, tapi juga merupakan artikulasi suara-suara lokalitas, suara-suara marjinal dan subaltern dalam ruang-ruang publik tandingan(15).

Kebudayaan dalam perspektif lokalitas ditempatkan sebagai arena-ajang kontestasi, mejajakan diri dan negosiasi antar komponen atau seperti kata Gus Dur, kebudayaan adalah seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human social live) yang terbangun atas dasar interaksi sosial sesama manusia, individu maupun kelompok. Kebudayaan dengan demikian, dapat dikatakan sebagai representasi proses emansipasi seorang manusia atau suatu masyarakat menuju kearah yang lebih survive(16).

Islam Lokalitas yang hadir dalam bentuk Pribumisasi islam adalah sebuah strategi kebudayaan upaya komunitas local untuk tetpa survive dan pada saat yang sama berusah untuk juga terkategorisasi sebagai sebagai bagian dari Islam. Mereka betul-betul menganggap budaya –meminjam defenisi Homi K. Bhaba-- sebagai aktivitas negosiasi, pengaturan dan pengesahan tuntutan-tuntutan akan representasi diri yang kolektif, yang tidak hanya saling berkompetisi, namun juga kerap saling bertubrukan(17).

Islam lokalitas bekerja dengan memplesetkan segala hal yang berasal dari luar. Meminjam dan merengkuh kuasa dan otoritas luar, lalu, dipakai untuk memperkukuh otoritas dan kemampuan subyektifitasnya sendiri. Sehingga memungkinkan melancarkan siasat-siasat baru menghadapi dominasi dan membereskan hegemoni(18).

Dengan melihat kerangka kerja ini, akan ditemukan sebuah ruang kemerekaan beragama yang tidak melulu hegemonik dan dominatif, namun kreatif, imajinatif dan merangsang manusia sebagai pelaku kebudayan untuk terus melakukan negosiasi demi emansipasi diri demi survivenya kemanusiaan. Semoga...


(1) Abied Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al Jabiri dalam Muhammad Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan. Bandung, Mizan, cet. I, Juli 2001, hal. 315
(2) Abied Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, ibid, hal. 316
(3) Abied Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, ibid, hal. 316
(4) Abied Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, ibid, hal. 316
(5) Al Jabiri. Muhammad Abid, Bunyah Al ‘Aql Al ‘Arabi, Casablanca. Al Markaz Al Tsaqafi Al ‘Arabi. cet II. 1991. hal 568
(6) Abied Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, op.cit, hal. 321
(7) Baso. Ahmad, Plesetan Lokalitas. Jakarta. Desantara. Desember 2002. Cet I hal 50
(8) Baso. Ahmad, ibid. hal 51
(9) Baso. Ahmad, ibid, hal 51
(10) Wahid. Abdurrahman. Pergulatan Negara, Agama dan kebudayaan. Jakarta. Desantara. Agustus 2001. Cet 2. hal 160
(11) Wahid. Abdurrahman, ibid, hal 163
(12) Marzuki. A. F. Membangun Semesta Budaya Profetik, Kompas. 21 September 2003
(13) Wahid. Abdurrahman. op.cit. hal 166
(14) Baso. Ahmad, op.cit. hal 54
(15) Baso. Ahmad, bid. hal 24
(16) Wahid. Abdurrahman. op.cit. Pengantar Penerbit. hal vi
(17) Bhaba, Homi K. Reinventing Britain; A Manifesto, dalam N. Wadham-Smith (ed) Brithis Studies Now, Vol 9 April 1997
(18) Baso. Ahmad. Op.cit. hal 82. untuk lebih jelasnya coba bandingkan dengan konsep mimikri kebudayaan dari Homi K. Bhaba.

Baca Selengkapnya......

Stop Penebangan Liar

Mengakhiri Krisis Kehutanan
Muhammad AS

Kongres Kehutanan Indonesia kembali digelar di tengah situasi kehutanan yang sedang mengalami krisis hebat. Sekira 2,8 juta hektar hutan hilang dalam setahun. (Kerusakan ini dianggap paling parah di planet bumi). Illegal logging terjadi hampir di seluruh kawasan hutan Indonesia, tanpa henti.

Tak kurang dari 51 juta meter kubik kayu bulat tiap tahun dihasilkan dari kegiatan illegal logging. Tiap tahun diperkirakan lebih dari 10 juta meter kubik kayu bulat dan atau kayu gergajian ukuran besar diselundupkan ke luar negeri.

Pembalakan kayu, perambahan hutan, pemanfaatan hutan untuk sektor lain dan kebakaran hutan telah menyebabkan kerusakan hutan Indonesia yang amat parah.

Kinerja ekonomi industri kehutanan berada pada tingkat paling buruk. Indonesia kehilangan devisa 10 milyar dari sektor kehutanan. Industri kehutanan berada pada titik nadir. Hingga pertengahan 2006, sekira setengah dari industri kehutanan bangkrut dan harus merumahkan ribuan karyawannya. 200 industri HPH gulung tikar. Dua pertiga industri HTI harus menghentikan kegiatannya. Keduanya meninggalkan lebih dari 20 juta hektar kawasan hutan atau seluas lebih dari ukuran pulau jawa tak bertuan. Kawasan ini kini menjadi manakan empuk bagi para pembalakan liar.

Kongres yang dihadiri lebih dari seribu orang itu pun menyatakan berkomitmenya untuk mengakhiri mimpi buruk itu. ”Pertumbuhan ekonomi yang terus menerus memburuk tidak dapat didiamkan,” kata Ketua Umum KKI IV, Agus Setiyarso.

Sekali lagi, seperti pada kongres kehutanan Indonesia ketiga, lima tahun yang lalu, sebuah kesepahaman tentang hutan indonesia dirumuskan sebagai komitmen bersama dalam upaya mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari di Indonesia.

Tapi lagi-lagi banyak yang pesimis. Cita-cita itu terlalu berat untuk diwujudkan.

Limapuluh tahun yang lalu, kongres kehutanan pertama dalam sejarah Indonesia di gelar di Bandung. Kongres ini digelar di tengah kondisi sosial politk yang tidak menentu.

Zaman itu, kita tahu, Indonesia memasuki masa-masa transisi yang tidak mengenakkan. Setelah menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan terjadi pemindahan aset-aset dari Pemerintah Kolonial Belanda kepada pemerintah Indonesia, bangsa ini belum siap betul mengurus dirinya sendiri. Ekonomi masih terseok-seok. Kehidupan sosial-politik juga kurang stabil.

Meski rakyat kurang makan, nasionalisme yang dibawa Presiden Soekarno disambut antusias rakyat Indonesia. Soekarno membenci kebijakan-kebijakan kapitalis ala Amerika dan Inggris. Kita pun bisa melihat dalam kongres pertama itu semangat nasionalisme hutan Indonesia muncul dengan semangat mengebu-gebu.

Nasionalisme hutan Indonesia kemudian menjadi keputusan penting dalam kongres itu. Bahwa industri kehutanan harus mengutamakan modal nasinal. Monopoli asing harus dilibas. Wakil Presiden pertama, Muhammad Hatta pernah menyinggung soal ini dalam sebuah newsletter. Hatta menulis begini :

” Orang-orang sering tidak menginsyafi bahwa hutan itu adalah harta nasional yang harus dijadikan kapital sebagai aset hidup bangsa kita dan turunan di masa mendatang.”

Kongres kehutanan Indonesia pertama digagas Persatuan Peminat dan Ahli Kehutanan (PPAK). Ide bikin kongres muncul saat mereka kongko-kongko di Bogor. Mereka menyakini hutan Indonesia saat itu sudah dalam kondisi yang parah, terutama hutan di Pulau Jawa dan Madura yang terus rusak dari tahun ke tahun. ”Ada gejala pemusnahan hutan di Djawa dan Madura,” kata. Ia menyebut gerakan serabotan hutan atau Clandestience Ontginning adalah biang keladi dari kerusakan hutan di Jawa dan Madura. Meski tidak sepadat sekarang, tapi sektor kehutanan yang kala itu masih terpusat di kedua wilayah ini menjadikan Clandestience Ontginning sebagai masalah besar. Tapi perang yang berlangsung puluhan tahun juga ikut menimbulkan kerusakan hutan yang parah.

Sarbuki, sebuah organisasi buruh kehutanan punya peran besar dalam kongres pertama ini. Selain dipercaya menjadi penyelenggara kongres, mereka punya andil besar dalam perumusan keputusan-keputusan penting kongres. Jika Anda sempat membuka dokumen kongres pertama, keputusan-keputusan kongres sangat berjiwa kerakyatan

Kongres pertama itu menyatakan bahwa persoalan kehutanan tak bisa diselesaikan hanya oleh Djawatan Kehutanan, lembaga resmi yang mengelola hutan. Mereka menyakini persoalan hutan akan bisa selesai kalau diselesaikan bersama. Ini persis seperti semangat yang muncul sekarang, saat orang-orang lateh ngomong multipihak

Di kongres pertama itu wacana desenteralisasi juga muncul. sesuatu yang sekarang marak dibicarakan.

Pada 1991 Kongres kehutanan indonesia yang kedua kembali digelar. Kongres ini digelar pada saat sektor kehutanan sedang naik daun. Industri kehutanan menjadi primadona setelah m

Ditengah hiruk-pikuk reformasi, pada tahun 2001 kongres kehutanan yang ketiga digelar. Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998 membawa segalanya berubah. Pengelolaan hutan di masa Orde Baru dianggap keliru, penuh praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan hanya menguntungkan segelintir orang yang berada lingkaran pusat kekuasaan. Sementara masyarakat lokal sekitar hutan justru makin tertinggal, hak-hak mereka atas hutan tidak diakui negara. Di kawasan-kawasan hutan, konflik sosial marak.

Lebih seribu orang hadir hingga Aula besar Maggala Wanabakti penuh sesak. Mereka rata-rata datang membawa semangat perubahan, juga perlawanan. Bahwa paradigma kehutanan Indonesia harus berubah. Semua praktek, nepotisme, korupsi dan kolusi (NKK) yang pernah terjadi pada masa orde baru harus ditinggalkan.

Kelompok-kelompok pembela masyarakat lokal menekan pemerintah agar paradigma kehutanan indonesia bukan lagi sentralistik ala Orde Baru, tapi pengelolaaan hutan yang lebih memihak kepada hak-hak masyarakat lokal. Mereka ingat apa yang sudah terjadi pada 1978, ketika Indonesia menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Dunia VIII. Forest for People yang digagas dalam kongres itu dianggap masih relevan di era reformasi. Kongres itu memang merumuskan perubahan paradigma kehutanan Indonesia, tapi beberapa diantara mereka yang pro masyarakat lokal justru kecewa.

Dan kini ketika mereka kembali bikin kongres, kita tak pernah tahu, seperti apa wajah hutan kita di masa depan?. Ya, cita-cita mewujudkan hutan lestari memang selalu ada. Dan kali ini tampaknya akan dilakukan lebih kongret oleh sebuah lembaga yang terbentuk di kongres : Dewan Kehutanan Nasional (DKN).

Publik tampaknya sudah lelah dengan persoalan kehutanan yang tak kunjung selesai. Kepercayaan mereka pada pemerintah juga turun. Dan DKN-lah yang dianggap bisa memecah kebekuan persoalan-persoalan kehutanan di Indonesia. Di kongres itu, orang-orang memandatkan DKN (lembaga di luar pemerintah yang mendapat legitimasi dari publik kehutanan) untuk menjembatani berbagai kepentingan dalam pembangunan kehutanan.

Setiap orang boleh mengadu, setiap orang boleh mengontrol. DKN adalah lembaga berbasis konstituen. Lembaga yang dibentuk oleh orang-orang yang terlibat dalam pembagunan kehutanan. Kepada DKN, Anda boleh mengadu ketika Anda merasa dirugikan atas keterlibatan Anda dalam pengelolaan hutan. Dan menjadi tugas DKN untuk menjadi jembatan penyelesaian atas permasalahan yang timbul.

Tapi tampaknya hal itu hanya sebagain kecil tugas DKN.

Sungguh, DKN memegang tugas yang amat berat. DKN merupakan lembaga yang diamanai tugas menjalankan sebuah dokumen bernama Garis-garis besar haluan kehutanan (GBHK). Lembaga ini diminta ikut memperbaiki tata pemerintahan kehutanan yang kini amburadul, mengentaskan kemiskinan sekitar hutan, menumbuhkan ekonomi kehutanan yang lagi lesu-lesunya, belum lagi memikirkan pengembangan layakan-layanan jasa lingkungan atas kekayaan hutan Indonesia.

”DKN telah menutup ”lubang” yang selama ini menganga dalam organisasi pengelolaan hutan Indonesia, ” kata hariadi Kartodiharjo, ketua DKN.

Kini setelah kongres berakhir, semua orang menanti gebrakan DKN dalam menutup lubang-lubang persoalan kehutanan itu.

Pimred HMINEWS

Baca Selengkapnya......

Dimanakah Ideologi HMI...?

HMI dan Kevakuman Ideologi
Oleh Budi Gunawan S

BAHAGIA HMI yang pada 5 Februari 2007 ini merayakan hari jadi yang ke-60. Usia yang tidak muda dan tidak pula tua untuk ukuran sebuah organisasi. Mencapai angka 60 adalah prestasi usia yang penuh pengalaman dan kematangan jati diri. Enam dekade tentu merupakan momentum penting untuk merefleksikan perjalanan HMI di tengah kritik pedas, suara sumbang, keluhan, bahkan gugatan dari luar. Sementara itu, ia juga tampak gagap dalam menghadapi arus deras perubahan, stagnan, dan tertawan permasalahan internal yang tidak kunjung usai.

Memahami jati diri HMI belumlah cukup ketika hanya melihat banyak alumninya yang terlibat kasus korupsi atau perilaku tak terpuji lain, anggotanya yang minim peran dalam gerakan mahasiswa, atau HMI hari ini yang sudah kurang diminati mahasiswa kebanyakan. Lebih dari itu, tak dapat dipungkiri bahwa sejarah organisasi ini sebagai track record memang telah mewatak menjadi pola perilaku objektif yang ternyata justru melahirkan banyak persoalan di belakang hari.

Sejarah republik sejak didirikan mengalami tiga fase perubahan yakni; orde lama, orde baru dan orde reformasi yang banyak diwarnai oleh gerakan mahasiswa. Terutama pada masa orde lama dan orde baru di mana HMI begitu piawai dalam memainkan peranannya.

Didirikan oleh Lafran Pane, Achmad Tirtosudiro dkk di Jogjakarta dua tahun setelah pekik kemerdekaan diproklamirkan, HMI memiliki dua tujuan utama yakni; (1) mempertahankan (kemerdekaan) NKRI dan (2) mengembangkan syiar islam. Sejak kelahirannya, organisasi mahasiswa tertua ini dihadapkan pada perjuangan melawan agresor asing yang berkeinginan untuk menjajah kembali tanah air. Abad 19 dan awal abad 20 pasca perang dunia kedua merupakan momen penting bagi tumbuh-kembangnya gerakan mahasiswa (pemuda) di Indonesia di bawah pengaruh pertarungan ideologi, perang-perang heroik di dalam maupun luar negeri. Pada tahun-tahun ini pula HMI menampilkan sosok organisasi heroik dengan watak tegas dalam menentukan garis ideologi perjuangannya.

Pergerakan konteks situasi Orde Lama kerap diwarnai konflik politik aliran dan ‘perang ideologi’ yang serba revolusioner, seraya tetap berpegang pada semangat anti-kolonialisme (Belanda) yang menjadi tren ketika itu. Memasuki masa demokrasi liberal-parlementer era Soekarno, HMI dan gerakan mahasiswa pada umumnya lalu mengambil bentuk afiliasi dengan partai politik segaris. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) berafiliasi di bawah PNI. Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI. Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI. Sementara itu, HMI memilih Masyumi.

HMI dan Orde Baru

Persaingan politik aliran antarpartai menjelang pemilu pertama di tahun 1955 berdampak pada persaingan antarmahasiswa yang mengambil bentuk ideologis saling berhadap-hadapan antara yang ‘kiri’ dan ‘kanan’. HMI berada pada posisi kanan bersama PMKRI dan Germasos dengan isu utama antikomunis dan anti kediktatoran. Sedangkan CGMI dan GMNI di pihak kiri dengan isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim, dan anti-fasisme. Sementara bandul kekuasaan semakin bergerak ke kiri di bawah komando Panglima Besar Revolusi Paduka Jang Mulia (PJM) Bung Karno, kelompok kanan mendapati kekalahan yang bertubi-tubi hingga memasuki masa demokrasi terpimpin.

Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan Badan Konstituante sebagai jawaban Bung Karno terhadap upaya parpol Islam yang ingin memasukkan kembali Piagam Djakarta ke dalam konstitusi baru. Selain itu, pemberontakan PRRI dan Permesta yang merongrong kekuasaan, dijawab Soekarno dengan membubarkan Masyumi dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Entah bagaimana kemampuan pimpinan PB HMI di masa itu sehingga HMI—yang nota bene merupakan bagian dari kelompok oposan—dapat selamat dari pembersihan PKI dan CGMI.

Padahal sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa mengalami ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan. Organisasi yang sesuai dengan ideologi negara dapat berkembang, sedangkan organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan atau bahkan dicap kontrev (kontrarevolusi). Pertentangan semakin tajam hingga menjelang peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965, di mana kekuasan Soekarno mulai goyah. HMI terlibat bersama kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan berkongsi dengan militer mulai mengorganisasi diri untuk menggulingkan presiden. Pertarungan ini akhirnya dapat dimenangkan dengan tergulingnya Soekarno berikut nasib gerakan mahasiswa dan partai politik yang mendukung ideologi Bung Karno.

Kejatuhan Soekarno ini menjadi pancang sejarah pergeseran fase keindonesiaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Peristiwa ini memunculkan mitos gerakan mahasiswa sebagai moral force yang kemudian menjadi kategori politik penting terhadap kekuasaan, sekaligus memitoskan kebesaran mahasiswa angkatan ‘66 yang diarsiteki kader-kader HMI seperti Akbar Tandjung dan Mar’ie Muhammad.

Pada babak sejarah berikutnya, maka banyak ditemui tokoh HMI yang mengisi birokrasi kekuasaan. Generasi kedua HMI ini tidak lagi menampilkan sosok herois yang terlibat penuh dalam pergerakan mahasiswa seperti ditunjukkan oleh para pendahulunya. HMI yang menjadi bagian pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif sebagai sumber rekruitmen kepemimpinan nasional yang kemudian dikenal dalam doktrin organisasi; ‘HMI sebagai sumber insani pembangunan’. Dekade pertama kejatuhan Orde Lama merupakan masa ‘bulan madu’ gerakan mahasiswa dengan Orde Baru. Sedari awal, aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan orientasi gerakan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).
Kolaborasi penguasa Orde Baru dengan mantan aktivis mahasiswa, termasuk alumni HMI, berdampak besar terhadap peran HMI yang hampir-hampir absen dalam setiap momentum kebangkitan gerakan mahasiswa. Tercatat dua kali mahasiswa bangkit melawan penguasa Orde Baru. Pertama, Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) pada 1974. Ketika itu, digelar aksi penolakan mahasiswa terhadap kapitalisme modal asing. Kedua, gerakan mahasiswa 1978 yang menolak pencalonan Soeharto kembali menjadi presiden.

Power tends to corrupt menjadi benar adanya ketika melihat hubungan harmonis antara HMI dan penguasa Orde Baru yang nyaris tak tergoyahkan, sehingga mengakibatkan penyakit krusial di tubuh organisasi dan melahirkan perpecahan. Sebagian kader HMI menyempal membentuk HMI-MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan monolitik penguasa. Puncaknya adalah pemberlakuan asas tunggal oleh Orde Baru yang ditentang oleh HMI-MPO.

Generasi HMI lain yang muncul di luar kekuasaan Orde Baru mengambil jalur intelektualisme sebagai gairah mewujudkan kontribusi HMI terhadap bangsa. Generasi intelektual HMI berijtihad atas kemandekan berpikir yang terjadi dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang pemikiran ini sudah tumbuh sejak tahun 1960an akhir hingga tahun 1980an dan memunculkan gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan ikon utamanya Nurcholish Madjid.

Mencari Bentuk (Ideologi) Gerakan

Ideologi dalam pengertian luas bisa bermakna positif juga peyoratif. Ideologi berfungsi untuk melawan sekaligus melanggengkan status quo. Sejak didirikan, HMI menjadikan visi keislaman dan keindonesiaan sebagai tujuan inti organisasi. Sejarah menjelaskan bagaimana ideologi HMI itu beroperasi, direproduksi dan dipertahankan.
Suatu gagasan memuat sekaligus tindakan, sentimen, dan gesturenya. Misi keislaman dan kebangsaan HMI, pada masa orde lama sejatinya ialah ideologi yang menyerang kolonialisme (penjajah) dan memusuhi komunisme. Ideologi ini kemudian berubah bentuk ketika direproduksi secara intelektual melalui isu-isu; keislaman, keindonesiaan, kemodernan dan sekularisasi yang menjadi tema aktual di era pembangunan. Kemunculan cendekiawan muslim bercorak moderat di masa itu lebih didorong pada upaya mendamaikan hubungan Negara dengan agama (islam) dalam rangka mempertahankan stabilitas ekonomi-politik orde baru. Bagaimanapun, pemikiran Cak Nur tentang ‘Islam Yes, Partai Islam No!’, sedikit-banyak menguntungkan Golkar sebagai partai penguasa. Karateristik HMI hari ini tidak dapat dilepaskan dari fakta-fakta sosial-historis dan pengetahuan yang mengakumulasi dalam dirinya selama 60 tahun. Proses diskursif dialektis selama enam dekade memenangkan wacana keislaman yang berwatak modern-moderat-inklusif sebagai mainstream. Sedang watak keagamaan yang cenderung tradisional-radikal-eksklusif menjadi pihak yang kalah.

Tidak banyak yang dapat diceritakan mengenai peran HMI pasca Orde Baru, bahkan ketika gerakan mahasiswa ‘98 beramai-ramai merobohkan kediktatoran Suharto. Saat itu, peran HMI patut dipertanyakan. HMI berjuang (melawan diktatur) pada masa Orde Lama. HMI membangun (bersama diktator) pada fase Orde Baru. Akhirnya, sekarang, HMI tengah mencari bentuk di era reformasi. Bahagia HMI dan semoga semua aktivitas organisasinya diridhai oleh Allah Swt.

Ketua Badko HMI Jateng-DIY Bidang Eksternal2006-2008, Mahasiswa UMS

Baca Selengkapnya......

Wednesday, April 25, 2007

Lagi, Perempuan Angkat Bicara

Perempuan;Sebuah Ke-eksistensi-an Tubuh
Oleh Sudarmiah

Aku melihatnya
Di atas dipan tua; mengerang
Di dalam sebuah bangunan kokoh; rumahnya
Di bawah atap langit; berteriak lantang
“ aku adalah perempuan, tubuhku adalah milikku,
Biarkan ianya menarik aku kesana; pentas alam semesta”

--Tazkiyah ’01--

Berbicara tentang perempuan bagi saya merupakan topik yang sangat menarik untuk diperbincangkan, bukan karena diri pribadi saya adalah seorang perempuan tapi lebih karena keprihatinan sekaligus kebanggaan saya terhadap komunitas perempuan yang tetap eksis menempatkan dirinya pada posisi “hitam/putih”, “terbuang/dibutuhkan” dan masih banyak lagi keadaan yang saling kontradiktif.

Terlepas dari baik atau buruk perannya dimata masyarakat luas, perempuan telah membuktikan dirinya bahwa dialah sendiri yang bisa menentukan ke arah mana dan pada siapa dia “menyerahkan” dirinya. Pilihan hidup yang memilih untuk berjalan di atas jalur yang “benar/tidak benar” adalah pilihan sadar perempuan yang membawa kebenarannya sendiri-sendiri.

Perempuan ini tahu betul bahwa setiap pribadi manusia masing-masng memiliki kebenaran bagi diri mereka sendiri walaupun tidak sedikit yang membawa kebenarannya ke dalam masyarakat umum dan akhirnya dianggap benar oleh orang lain. Dalam hal ini tidak dipungkiri oleh perempuan bahwa pihak laki-laki juga memiliki kebenaran mereka sendiri. Dari kedewasaan cara berpikir yang seperti inilah akhirnya perempuan bisa mengambil pelajaran dari sejarah keperempuanannya untuk memilih jalan hidup, menjadi “korban” atau menjadi “sang pelaku” itu sendiri.

Eksistensi diri yang berusaha didapatkan oleh perempuan harus terlebih dahulu menjalani proses yang sangat panjang dan melelahkan. Beberapa peristiwa bahkan hampir menghilangkan komunitas perempuan dari peran domestik apalagi peran publik sebagai bagian dari komunitas masyarakat karena dianggap kurang pantas bagi perempuan untuk memperlihatkan diri dan kemampuannya di hadapan publik.

Perdebatan dan pengorbanan selalu mewarnai setiap perjuangan perempuan dalam memperjuangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki pada setiap sendi kehidupan, terbilang sebagai bagian dari proses yang mungkin masih sangat panjang bagi perempuan untuk menunjukkan keeksistensian mereka.

Kesadaran ini menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi lebih cepat dewasa seiring dengan perjalanan dari perjuangan itu sendiri. Alhasil, peristiwa tersebut bukannya mengendurkan semangat perjuangan mereka tetapi merupakan pendorong semangat baru untuk terus memperjuangkan apa yang mereka ingin dapatkan.

Pencarian makna eksistensi atas tubuh oleh kaum perempuan bermula dari kesadaran kaum perempuan yang memaknai kenyataan bahwa banyak hal yang bisa mereka lakukan sendiri tanpa bantuan laki-laki atau dengan bantuan kaum laki-laki. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal yang belakangan ini telah disadari oleh kaum perempuan menyangkut hal bahwasanya sekian lama mereka ditempatkan pada posisi kaum lemah dan harus dilindungi bukan sebagai sesuatu yang bisa bertanggung jawab terhadap kepentingan publik serta dianggap sebagai sesuatu yang tidak diperlukan dalam pengambilan kebijakan dalam masyarakat.

Perempuan adalah Candu
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri bila kita berbicara tentang sejarah perempuan. Perempuan sejak dulu selalu di tempatkan pada keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan untuk dirinya. Kejatuhan manusia pertama dari surga selalu ditekankan kepada pihak perempuan (hawa) sebagai pihak yang patut dipersalahkan oleh karena perempuan yang menggoda laki-laki (adam) sehingga termakanlah buah dari pohon terlarang. Kepercayaan ini lalu didistorsi ke dalam sistem sosial yang melulu menempatkan perempuan sebagai “golongan manusia perusak”.
Sistem sosial tersebut sampai sekarang masih tetap ada, hal ini bisa terlihat dari masih kurang dihargainya peran perempuan baik dalam bidang domestik maupun bidang sosial kemasyarakatan. Penempatan perempuan dalam wilayah domestik (rumah tangga) masih selalu pada taraf “penerima”, dari soal nafkah sampai masalah urgen lainnya. Tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosialnya, perempuan selalu ditempatkan di bawah posisi laki-laki dengan peran dan tanggung jawab yang lebih ringan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terjadi karena perempuan masih diartikan sebagai sosok lemah yang tidak memiliki control sosial yang cukup kuat dibandingkan dengan laki-laki.

Perempuan dalam konteks agama pun tidak lepas dari cobaan-cobaan yang tidak representatif dalam meninggikan derajat kaum perempuan. Agama Islam contohnya mempunyai banyak aturan-aturan tentang perempuan yang bila dimaknai sepintas lalu akan dianggap sangat merugikan kaum perempuan. Dalam sebuah hadist dikatakan bahwa

“setiap perempuan yang keluar rumah akan diikuti setan sambil menghembuskan bisikan; goda ini, bujuk itu. Dalam setiap langkanya, lahir setan-setan penggoda. Dalam setiap ayunan tangannya, keluar setan-setan penyesat ".

Dan didalam hadist yang lain dikatakan bahwa

“tidak sekali-kali aku tinggalkan suatu fitnah yang paling membahayakan diri kalian selain fitnah perempuan"

Dari kedua hadis ini dapat dipastikan bahwa masyarakat sebagian besar akan memiliki persepsi yang hampir sama dengan yang lainnya yaitu menganggap bahwa perempuan merupakan mahkluk yang membahayakan kehidupan ataupun ibadah dari seseorang, parahnya lagi tidak hanya laki-laki saja yang memandang perempuan dalam posisi yang seperti ini tapi kenyataannya banyak perempuan yang memandang perempuan lainnya sebagai “musuh dalam selimut”, tentunya hal ini tidak menguntungkan posisi kaum perempuan itu sendiri.

Karena kekhawatiran fitnah perempuan yang akan merusak tatanan masyarakat, perempuan tidak disarankan untuk keluar rumah tanpa keperluan. Kalaupun harus keluar, sebisa mungkin tidak sendirian karena kehadiran tubuh seorang perempuan ditengah masyarakat yang menggoda. Masyarakat akan terangsang, tergoda dan mungkin bangkit melakukan sesuatu terhadap tubuh perempuan. Kata Imam Nawawi,

“seorang suami yang terhormat wajib melarang istri dan anak perempuannya untuk keluar rumah dengan berhias dan berdandan dan tidak memperkenankan mereka keluar rumah kecuali pada waktu malam hari disertai mahram atau perempuan lain yang dipercayai” .

Hal ini mengakibatkan perempuan akan kehilangan kebebasannya untuk mengeksperisikan potensi yang dia miliki sehingga potensi itu sendiri kemudian tertutupi dan hilang.

Banyaknya larangan-larangan untuk perempuan dalam masyarakat sosial ternyata lebih banyak diakibatkan oleh karena posisi perempuan dalam cara-cara peribadatan. Misalkan larangan perempuan untuk memimpin shalat diartikan bahwa kehadiran tubuh perempuan didepan jamaah shalat dikhawatirkan akan mengganggu dengan membuyarkan konsentrasi mereka dalam menghadap Allah SWT Hal ini lalu berimbas pada kenyataan bahwa tubuh-tubuh perempuan juga tidak diharapkan duduk dalam jabatan-jabatan publik karena kehadirannya hanya akan menggoda masyarakat dan memalingkan perhatian mereka dari tugas-tugas yang semestinya mereka kerjakan.

Perempuan; Simbol Seksualitas
Seksualitas sampai saat ini masih dianggap sebagai bahan yang paling laku untuk diperbincangkan. Walaupun masih banyak pihak yang menganggap bahwa seksualitas adalah hal yang tabu di hadapan umum dan hanya milik pribadi, wacana seksualitas terus diperbincangkan baik dalam forum khusus perempuan maupun dalam forum umum. Perbincangan ini tentu saja tidak berhenti pada satu materi tentang seks tetapi akhirnya terkuak bahwa wilayah seksual sangat luas cakupannya.

Namun hal diatas tidak lantas menjadikan wacana seksualitas menjadi wacana yang proporsional. Penempatan perempuan dalam diskusi-diskusinya hanya sebagai “pelaku” bukan sebagai “korban”. Fakta bahwa setiap perbincangan tentang seksualitas lebih banyak membahas tentang kaum perempuan dibanding dengan kaum laki-laki merupakan pembuktian bahwa sampai saat ini seksualitas masih dipandang sebagai “perempuan“.
Hal ini jelas tidak menguntungkan pihak perempuan karena pada setiap penyelewengan prilaku seksual selalu dibebankan kepada pihak perempuan. Contohnya saja “gelar” PSK (Pekerja Seks Komersil) selalu diarahkan kepada pihak perempuan dan pada setiap kali penggerebekan lokasi-lokasi prostitusi yang terlihat banyak tertangkap adalah kelompok perempuan bahkan sama sekali tidak terlihat adanya kelompok laki-laki. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga sekelompok laki-laki yang bekerja sebagai PSK, namun hal ini tidak diekspos besar-besaran sebagaimana media mengekspos prilaku prostitusi perempuan.
Hadis Nabi mengatakan bahwa

“setiap perempuan yang keluar rumah akan diikuti setan sambil menghembuskan bisikan; goda ini, bujuk itu. Dalam setiap langkanya, lahir setan-setan penggoda. Dalam setiap ayunan tangannya, keluar setan-setan penyesat"

membuktikan bahwa perempuan merupakan pihak yang paling mampu untuk mengumbarkan pesona sensualitasnya dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan dalam hal ini dikatakan sebagai makhluk penyebar setan yang menggoda iman seseorang melalui sensualitas tubuhnya. Kehadiran tubuh seorang perempuan merupakan tantangan terbesar pada pihak laki-laki.

Dalam persoalan ini pun perempuan lebih banyak ditempatkan pada pihak yang paling berpotensi untuk “menghancurkan” seorang laki-laki, tidak terpikir bahwa laki-laki pun bisa menjadi “duri dalam daging” bagi laki-laki sendiri maupun pada pihak laki-laki. Seksualitas perempuan dalam pemikiran keagamaan dianggap fitnah yang membahayakan. Baik terhadap dirinya maupun orang lain. Dalam peringatan yang dinyatakan oleh Nabi bahwa Tidak sekali-kali aku tinggalkan suatu fitnah yang paling membahayakan diri kalian, selain fitnah perempuan

Dalam riwayat Abu Hurairah lebih tragis lagi,

“sumber kesialan (syu’m) itu ada tiga: perempuan, rumah dan kuda”

Berbeda dengan kaum laki-laki yang seksualitasnya cenderung dianggap wajar dan bahkan dimanjakan. Hal ini terlihat dari praktek khitan bagi permpuan dan laki-laki yang sangat jelas adanya perbedaan tujuan dilaksanakannya praktek ini. Praktek khitan jelas secara seksual sangat menguntungkan laki-laki tetapi tidak bagi perempuan.

Begitulah konsepsi seksualitas dalam teks-teks klasik islam yang dibangun atas tiga anggapan yang bercorak diskriminatif terhadap perempuan. Pertama, seksualitas adalah sesuatu yang mamalukan, karena itu harus disembunyikan dan diletakkan pada ruang yang paling rahasia, dan tidak dibicarakan di tengah-tengah publik. Kedua, perempuan tak lain adalah figur ‘penggoda’ terhadap kesalehan masyarakat, sehingga seksualitasnya harus dikontrol, diawasi, dibatasi, dan diarahkan. Ketiga, memanjakan seksualitas laki-laki, sehingga laki-laki diberi banyak kesempatan untuk memperoleh puncak kepuasan .

Demikianlah, bagunan pemikiran menyangkut relasi perempuan dengan dirinya sendiri, laki-laki pasangannya atau dengan masyarakatnya, didirikan atas dasar pandangan bahwa perempuan adalah fitnah, bahkan sumber malapetaka bagi pihak laki-laki. Seksualitas perempuan adalah sesuatu yang memalukan sehingga harus dibatasi, menyenangkan sehingga dibebani untuk melayani dan memuaskan.

Realitas ini menunjukkan bahwa tubuh perempuan sepenuhnya dipandang hanya sebagai obyek kesenangan (object of pleasure) oleh karena itu harus dikontrol sesuai dengan keinginan pihak penikmat, dalam hal ini para lelaki

Prototipe Perempuan Masa Kini
Membandingkan perempuan dulu dengan sekarang memang seperti menciptakan jurang pemisah yang amat transparan. Perempuan dulu mungkin dikenal dengan prototype yang selalu mengikuti apa kata adat istiadat, orang tua dan suami. Kehidupan mereka lebih banyak ditentukan oleh pihak yang pada mereka dia mencari perlindungan. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa terkadang dengan keadaan seperti ini harga diri dan kehormatan perempuan lebih terjaga dan bersih dari segala macam pergunjingan tentang dirinya.

Walaupun demikian kondisi ini pada substansinya justru merugikan kaum perempuan (bingung kan !?) karena dengan demikian perempuan memang hanya menempatkan dirinya pada posisi yang lemah dan tidak mandiri, selalu bergantung pada kehadiran kaum laki-laki dan merasa diri tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan dari pihak laki-laki.

Perempuan masa kini justru cenderung sangat mandiri, sehingga peran laki-laki dalam menentukan arah hidupnya bisa dikatakan sangat kurang berpengaruh. Malah sekarang ini telah banyak perempuan yang berhasil terjun ke pekerjaan yang langsung berhadapan dengan publik dan sering ditempatkan dia atas posisi kaum laki-laki (meski hal inipun masih sangat kurang dibandingkan dengan peran laki-laki). Namun penulis melihat bahwa justru disinilah letak kelemahan kaum perempuan masa kini. Kemandirian mereka di hadapan publik telah menyebabkan timbulnya pesimisme terhadap peran kaum laki-laki.

Hal menunjukkan bahwa perempuan memang bisa menjadi seperti laki-laki, tapi bukan keadaan yang seperti ini yang kita inginkan bersama. Benarkah perempuan sama sekali tidak menginginkan keberadaan laki-laki dalam perjalanan hidupnya? bukankah perempuan tidak sekejam laki-laki yang juga akan mematikan karakter manusia lainnya (laki-laki) seperti yang dulu telah dilakukan oleh kaum laki-laki.

Demikianlah dari kondisi ini seharusnya kaum perempuan lebih mampu menempatkan dirinya (tubuh) dalam kondisi apapun tanpa merugikan siapa pun. Kebebasan untuk membawa diri (tubuh) perempuan kearah mana yang dia suka bukan merupakan alat untuk menjustifikasi bahwa dengan ini tidak ada lagi batasan yang membatasi ruang gerak dari perempuan.

Justru dari keberadaan dirinya (tubuh perempuan) perempuan bisa mengambil hikmah bahwasanya dengan tubuh dia bisa melihat potensi apa yang terkandung dalam dirinya dan bisa dia kembangkan untuk masa depan dirinya dan perempuan yang lainnya, entah peran itu baik menurut dirinya sendiri atau justru pilihan terburuk dimata masyarakat?

Namun dalam konteks yang lain, kaum perempuan merasa bahwa dengan mempertontonkan tubuhnya yang tidak memakai/tanpa baju (nude female) ataupun badannya yang tampil bugil (naked woman), mereka menganggap sebagai keberhasilan dari gerakan kebebasan perempuan. Nah loh!!! [@]

Baca Selengkapnya......

Monday, April 23, 2007

Renungan Hari Kartini

Hari Kartini; Saatnya Perempuan Angkat Pena
Ibn Ghifarie

APA YANG ANDA LAKUKAN MANAKALA HARI KARTINI ITU TIBA? Aksikah, demokah, turun kejalan sambail meneriakan yel-yel ataukah diam seribu bahasa. Bila pertanyan itu di alamatkan padaku, maka aku tidak akan menjawabnya. Tapi akan bercerita perempuan. Pasalnya momen ini merupakan hari bersejarah bagi kaum hawa. Mereka berusah ingin hidup lebih baik dalam bingkai kesetaran dan keadilan. Meskipun dalam mewujudkan cita-cita itu tidaklah semudah membalikan telapak tangan, tapi memrlukan keuletan, ketabahan dan kesabaran.

Tengok saja, tindakan kriminalitas tentang kekerasan semakin marak di negeri beradab ini. Seperti pelecehan dirumah tangga, baik kekerasan anak terhadap orang tuanya, maupun sebaliknya. Bahkan yang lebih ironis lagi perbuatan keji itu di lakuakan oleh ibu terhadap anaknya.

Kedengaranya aneh memang, seorang ummi yang notabene mempunyai hasrat naluri keibuan--lemah lembut, gemulai, sopan dan penyayang, tega-teganya melakukan tindakan kekerasan fisik ataupun fisikis terhadap buah hatinya.

Ambil contoh, Januari yang lalu di daerah Gunung Kidul Jogjakarta di kejutkan oleh seorang Ibu bernama Ruhiem dan ketiga anaknya melakukan pembunuhan dengan cara mencapur racun tikus pada nasinya.. Usut punya usut ternya mereka sudah beberapa hari tidak makan. Menemukan lauk pauk apalagi. Tiba-tiba perempun setenga baya itu hilap dan pada akhirnya melakukan bunuh diri masal. Walaupun, keluarga tersebut tidak mati, karena dapat di tolong oleh tetangganya (Pikiran Rakyat, 31/01).

Peristiwa serupa pun terajdi di Cirebon dan Tanggerang. Pembakaran anak oleh Ibunya sendiri. Pasalnya perempuan kepala tiga itu, tidak tahan lagi dengan kebiasaan suaminya selalu mabuk-mabukan dan tak jarang memberikan nafkah hampir satu tahun. Sekoyong-koyong, entah kerasukan setan apa wanita itu, nekad melakukan perbuat ngeri tersebut (Radar, 19/01).

Ironisnya, di tengah-tengah arus informasi mudah di dapat dan menjamurnya gerakan feminis. Perbuatan senada pun terjadi, bahkan lebih perih lagi. Seperti yang di alami oleh Siti Nur Azilah di Surabya belakangan ini. Lisa, sapaan akrabnya mendapatkan perilaku tidak wajar dari suaminya. Ia di siram air raksa ke wajahnya. Sampai-sampai Lisa harus melakukan operasi face off di Rumah Sakit (RS) DR Soetomo Surabaya. Lagi-lagi kemiskinan lebih akrab dengan perempuan akibat marzinalisasi.

Dominasi Tafsir Patriarkhi.
Menilik persoalan tersebut, membuat kita mengerutkan kepala bila mencari jawaban. Apa yang melatar belakanginya modus tersebut? Tentu saja, perlakuan ganjil itu di akibatkan penafsiran ayat-ayat Tuhan yang kaku dan rigid. Seperti yang di utarakan oleh Rifat Hasan, bias tafsir itu terjadi mana kala; pertama, Penciptaan Hawa dari tulang rusuk adam. Kedua, Perempuan bertanggung jawab atas turunnya Adam dari surga. Ketiga, Tujuan di ciptakanya Mojang untuk Jajaka.

Selain itu, kuatnya pengaruh ulama dalam menafsirkan ayat-ayat yang berpihak pada laik-laki. Semisal, Arijalu Qowwamuna Ala annisa (Anissa:34); laki-laki menjadi pemimpin di antara perempuan. Bermula dari pemaknaan itu, pada akhirnya kaum Hawa di nilai sebagai pelengkap bagi kaum Adam semata. Di tambah lagi, posisi pemuka agama lebih tinggi dari kedudukan presiden. Pendek kata, ulama sebagai pewaris utama para nabi.

Mengapi kemalut yang akaut dan pelik itu, Fazlu Rahman mengartikan surat Anissa:34 itu mesti dimaknai berkisar pada fungsional, bukan pada perbedan hakiki. Artinya bila perempun memiliki kemampuan dan kemaun dalam mengemban amanah itu, maka berikanlah, tegasnya.

Senada dengan Rahman, Aminah Wadud mengomentari permasalahan tersebut. Bagi Wanita kontroversi itu, selama yang bersangkutan tidak bertentangan dengan al-qur’an sah-sah saja. Apalagi bila kita melihatnya secara fungsional, tutur pakar studi agama-agama itu.

Lebih lanjut, Guru Besar asal Maroko itu, menegaskan penafsiran itu tidak dimaksudkan superioritas hanya melekat pada kaum Adam secara otomatis, sebab itu terjadi secara fungsinal semata. Selama perempuan mempunyai kemampuan dan kualitas, berilah kesempatan, katanya.

Akibat dari pemahaman dan mendara daging di masyarakat. Kaum Nisa tidak boleh menjadi pemimpin dan hakim. Karena di anggap irasional, emosional dan tidak bisa menentukan keputusan. Hingga terdapat satu stereoty; kaum Adam membuat keputusan. Sementara kaum Hawa membuat kopi. Ujung ujungnya kaum Banat mesti berkutat pada ranah kasur, sumur dan dapur.

Tak berhenti sampai di sini saja, kaum Hawa pun tidak boleh mendapatkan pendidikan yang tinggi. Seperti yang dilansir oleh Jurnal Perempuan (JP No 23, 2003) terhitung dari tahun 1980-1990 angka perempuan masuk ke lembaga pendidikan lebih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Di tingkat SMA; 41,45%:58,57% dan diperguruan tinggi 33,60%:66,40%. Padahal mengeyam bangku sekolah investasi jangka panjang bagi masa depan nasib mojang kelak. Menjadi pentolan di panggung politik apalagi. Proses subordinat acap kali menimpa kaum banat. Seolah-olah perempuan tidak boleh berdikarir di ruang publik, tapi domestik.

Maka Ambilah Pena.
Mencermati kemiskinan wanoja buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah pemandangan akrab bagi kita. Tidak ada cara lain selain bangkit dan angkat pena. Pasalnya, kuatnya ideologi patriarki dalam bingkai penafsiran. Mesti ada penafsiran berbasis feminis, yang ramah dan menyapa perbedaan. Coba tengok, adakah mufasir sekaligus pemikir perempuan? Kalaupun ada itu masih bisa dihitung dengan jari. untuk bangsa Indonesia masih kecil bila di bandingkan dengan laki-laki. Paling tidak terdapat sederetan tokoh; Musdah Mulya, Ratna Mega Wangi, Gadis Arivia, Zakiyyah Darajat, Hopipah Indah Pawangsa, Dee dan Ayu Utami dll. Apalagi pada tataran Kampus UIN SGD Bandung. Seberapa banyak organisasi perempuan? Seberapa banyak pergelaran lomba karya tulis di gelar? Berapa banyak penulis dari kalangan kaum hawa?
Dengan demikian, mengangkat pena menjadi penting, bahkan sangat erat kaitanya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, Hanna, Aminah Wadud, Rifat Hasan sangat percya dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk pearadaban.

Sangatlah wajar bila Fatima Mernisi dengan lantang menyuarakan kaum Nisa untuk menulis. Karena penafsir jumplang harus di lawan dengan penafsir lagi. Bahkan bagi penulis Teras Terlarang itu, goresan pena merupakan obat mujarab awet muda. Apalagi kebiasaan itu di lakukan setiap hari. Terutama setelah Sholat Subuh, tuturnya Lantas mesti mulai dari mana?

Tulislah apa yang di lihat, di alami, di raskan dan di pikirkan dalam bentuk coretan. Seperti yang di ungkapkan oleh JK Rowling “mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasasmu sendiri. Itulah yang saya rasakan,” ungkap penulis Hery Pother itu.

Tentu saja, hampir semua orang agaknya pernah melakukan curat-coret. Entah menarikan pena di atas tumpukan; pesan, memo, dan buku harian. Jadi ada pelbagai ragam cara menuangka ide atau gagasan. Jika kita mesih kesulitan memulai membikin apa tulisan yang bersifat luas dan dalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya dimulai dengan membikin surat pembca dan diary. Semisal yang pernah dilakukan oleh Soe Ho Gie lewat Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikir Islam).
Pendek kata, mengangkat pena menjadi satu keharusan bagi kaum pelajar. Sebab tanpa itu semua harkat martabat kita akan dianggap rendah, bahkan lebih buruk dari binatang.

Untuk itu, sangatlah wajar apabila dalam dunia Antropolog (Belb, 1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) dikenal satu pameo; sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab (as languange distinguish hes man from animal, so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian). Thus, lengkingan pena hanya terdapat dalam peradaban.
Dalam ungkapan lain, buku adalah pengusung peradaban, tanpa buku sejarah menajdi sunyi, sastr bisu, ilmu pengetahuan lumpuh serta pikiran dan spekulasi mandek, begitulah Barbara Tuchmat berujar.

Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, “tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penarbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,” tutur Pria mantan Lekra itu.

Dengan demikian, mudah-mudahan dengan di peringatinya Hari Kartini ini, kita dapat melanjutkan perjuangannya. Sampai-sampai RA Kartini menggoreskan pena kepada karibnya “bila perempuan bisa membeli kebebasannya, merak harus membayar mahal sangat mahal. Mereka akan menghadapi kenestapaan.”; “Pergilah., bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu”; Suatu hari perempuan asal Jepara itu, menulis surat buat Ny RM Abendono-Mandiri (12 Oktober 1902) “orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin mengunakan senjat itu. Janganlah kami terlalu di usik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya. Akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu, kami akan menggunakan senjata itu. Walaupun kami sendiri akan terluka kerenanya. Aduhai! Tuhan, berilah kami kekuatan, kekuatan dan bantulah kami! Mafkan saya, cintalah anak-anakmu yang berkulit coklat ini.” Sudah siapkah kaum Banat merdeka? Pojok Sekre Kering.[Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 15/04;23.21 wib

Baca Selengkapnya......

Polemik UN

Ujian Nasional, Apakah Sebuah Jawaban?
Oki Sukirman

Dunia pendidikan kita saat ini sedang mempunyai hajat besar. Sebuah perhelatan yang membuat orang yang terlibat merasa tegang dan was-was, antara lulus dan tidak lulus, antara kejujuran dan gengsi. Hajat besar itu adalah UN atau Ujian Nasional. Menurut jadwal yang dikeluarkan Departemen Pendidikan nasional {Dep-diknas), untuk tingkat SMA/MA/SMK diselenggarakan pada 17-19 April 2007, yang berarti telah dilaksanakan kemarin. Dan untuk tingkat SMP/MTs/SMPLB/SMALB pada 24-26 April 2007 mendatang.

UN yang telah diadakan dari tahun ke tahun termasuk tahun sekarang terus memunculkan polemic tentang perlu tidaknya UN, resistensi ini muncul atas endapan keprihatinan pada kondisi bangsa dan korelasinya dengan pendidikan yang memprhatinkan karena sebuah tuntutan keadaan bangsa yang tak kunjung membaik, maka munculah sebuah pertanyaan yang besar, sudahkan pendidikan menjawab segala permasalahan bangsa yang semakin banyak dan kompleks. Adalah sebuah keharusan bagi semua pihak untuk memberikan perhatian lebih, dalam hal ini terutama pada aspek pelaksanaannya UN, dengan muncul kecurangan–kecurangan adalah penodaan kepada dunia pendidikan kita dan ini mengindikasikan bahwa memang pendidikan saat ini belum relevan.

Namun lebih dari itu, perhatian kita bukan semata pada aspek praktis semata, tapi juga memahami betul esensi dari UN itu sendiri. Memang membahas UN dari tahun ke tahun selalu saja kita dihadapkan pada topik yang usang, yang menjadi perdebatan masih tetap sama; perlu/tidak atau ada dan tidaknya UN. Hampir seluruh argumentas pro-kontra mencapai klimaks pada keharusan UN tetap diadakan. Buktinya sampai saat ini UN masih tetap diadakan.

Sebenarnya terlepas saat ini UN sudah dilaksanakan, sejatinya pemahaman akan pentingnya UN kembali kita buka. Kesimpulan tetap diadakanya UN adalah buah dari kesimpulan tanpa dasar pedagogis, bahwa dengan tingkat kelulusan dari tahun ke tahun yang meningkat merupakan indikator bahwa mutu pendidikan kita meningkat. Coba cermati data ini, bahwa hasil UN tahun ajaran 2005-2006 lebih bagus dari tahun sebelumnya karena jumlah kelulusan lebih banyak {SMA:92,5 dari 80,76 persen; MA;90,82 dari 80,73 persen; SMK 91,00 dari 78,29 persen, walaupun angka standar kelulusan dari tahun ketahun ditingkatkan. Dengan alasan pencapaian inilah pemerintah keukeuh sureukeuh mengadakan UN.

Selain itu yang menjadi alasan kuat pragmatisme terus diselenggarkannya UN adalah logikanya bahwa ketika siswa diberikan sebuah “ujian” dengan tuntutan sebuah kelulusan, pemikiran mereka bahwa otomatis setiap siswa akan belajar keras untuk mencapai nilai standar kelulusan tersebut.

Namun menurut penulis argumen ini sedikit kurang relevan. Berdasarkan pengalaman penulis ketika masih duduk di bangku SMU, justru pada kenyataannya bukan belajar keras yang dilakukan, dengan menghapal dan memperdalam mata pelajaran yang akan diujikan, atau rajin try out soal-soal UN tahun lalu. Tetapi pada kenyataannya bagi siswa yang –maaf- kemampuannya dibawah standar jusru banting setir, memeras otak bagaimana caranya supaya UN bisa sukses walaupun dengan jalan machavealisme sekalipun yaitu dengan menghalalkan segala cara.

Dan pada akhirnya kecurangan-kecurangan pun UN tidak bisa dihindarkan; soal yang bocor bahkan sampai jawabannya lalu dibeli oleh para siswa walaupun dengan harga yang cukup mahal, penjockeyan ketika UN berlangsung dan masih banyak modus operandi menyiasatinya.

Ketika “nilai” dijadikan sebuah ukuran sebagai penyebab utama rendahnya mutu pendidikan atau baiknya mutu pendidikan adalah sebuah hal yang keliru, sebab hal itu merupakan penalaran non cause pro cause (bukan sebab dikiran sebab). Sebab, kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh pencapaian angka-angka kelulusan murni –walaupun itu satu indicator penting

Seharusnya pemerintah dengan cermat mendiagnosis bagai seorang dokter kepada pasiennya: mengindentifikasi dan mengamati aspek masalah dasar, termasuk dimensi cultural dan sejarah bangsa ini, menganalisis dengan rinci guna mengetahui tanda dan gejalanya, lalu menguji di “laboratorium”, dan akhirnya sampai pada kesimpulan untuk membuat langkah-langkah guna mengatasinya. Selain itu reaksi masyarakat merupakan komponen yang jangan dianggap sebelah mata justru sebaliknya merupakan unsur yang harus diukur.

Bukankah gambaranan dari pemahaman logika bahwa UN dapat meningkatkan mutu dan melahirkan budaya kerja keras merupakan kenyataan kotradiktif, justru hal itu merupakan langkah mundur dunia pendidikan kita saat ini. Bagaimana mungkin angka dan jumlah kelulusan menjadi ukuran mutu pendidikan? Jika demikian mau dibawa kemana arah pendidikan kita? Berorientasi pada angka semata. Sebab seperti apa yang diwasiatkan dosen penulis disetiap menjelang UAS, bahwa nilai atau angka bukan ukuran dan segala-galanya; nilai mah ki bisa dimanipulasii! Kata-kata itulah yang selalu terngiang di telinga penulis.

Sejatinya pendidikan jauh melampui aspek kognisi (pengetahuan) ada dua ranah yang lain disamping aspek ognitive, yaitu sikap (attitude) dan praktik (skill). Maka pengembangan pendidikan tidak boleh dan tidak seharusnya terjadi semata-mata mana-suka, tetapi harus dituntun oleh kerangka filosofi dan ideology bangsa serta ideology pendidikan. Sebab di saat keadaan yang carut-marut seperti inilah pendidikan adalah sebuah jalan keluar untuk menciptakan karakter yang tangguh, berbudaya tinggi dan memiliki multi-level intelegence yang saling melengkapi.

Dengan “dikatrolnya nilai” pendidikan di Indonesia saat ini telah kehilangan jati diri, seharusnya pendidikan menjadi tempat penanaman nilai-nilai yang akan diejawantahkan dalam kehidupan di masyarakat. Tapi saat in pendidikan telah melahirkan out pout yang premature dan tak jelas orientasinya. Maka sering ditemukan kontradiksi yang paling kurang ajar antara kemestian pendidikan dan realitas social yang terjadi. Lihat saja, realitas tak pernah hadir dalam wajah yang dusta. Berapa banyak, bisa kita hitung manusia-manusia “berpendidikan” dengan karakter dan wajah social yang (seolah) tak berpendidikan.

Oleh karenanya, mengembalikan semangat pendidikan kepada arah hasrat menyempurnakan bersama-proses berdasarkan realitas dan kompleksitas manusiawi tidak bisa ditawar lagi. Dalam usaha memajukan kualitas pendidikan, tujuan jarang disentuh dan dijadikan program dasar propesional. Padahal, tujuan pendidikan itulah yang harus diperjuangkan untuk diraih oleh siapa pun yang berkecimplung dalam dunia pendidikan.

Fakta telah bicara tahun kemarin (2006), banyak siswa yang tidak lulus melakukan sikap yang menyimpang dan tidak terpuji contoh ada beberapa siswa yang nekat bunuh diri (Kompas, 22/6/2006), dan ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan membakar sekoah sendiri, bahkan ada siswa berupaya melukai gurunya (Kompas, 25/2/2006).

Cobalah kita cermati mengapa seorang siswa dengan berani membakar sekolahnya sendiri? Bahkan sampai ada yang berani melukai seorang yang telah memberikan jasa dengan tanpa tanda jasa? Ini menjadi PR buat pendidikan di Indonesia, adakah pendidikan saat ini tidak saja menitkberatkan pada aspek IQ (Intelektual Quotient) belaka, tapi jauh lebih dari itu aspek EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Maka dengan tersentuhnya EQ dan SQ, buah hasil dari pendidikan tidak saja, kaya akan aspek ilmu pengetahuan, juga aspek emosional atau moral, penajaman hati nurani (conscience), bahkan lebih dari itu akan tercapainya siswa yang religius atau taat beragama.

Bukan lagi rahasia bahwa saat ini kunci kesuksesan dalam hidup, tidak lagi bertitik berat pada aspek pengetahuan (cognitive) atau IQ belaka, tapi aspek EQ dan SQ menjadi jauh lebih penting seperti yang di paparkan oleh Ary Ginanjar Agustian dalam buku Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritiual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam atau oleh Toto Tasmara dengan buah pikirnya Kecerdasan Ruhaniyah atau karya Agus Nggermanto dengan bukunya Kecerdasan Quantum Cara Praktis Melejitkan IQ, EQ dan SQ Yang Harmonis.

Gejala ini (pentingnya aspek EQ dan SQ) menurut A.M Saepudin (1999:23) terjadi karena masyarakat dunia telah menemui kelelahan-intelektual dan kemarau-spiritual. Oleh karenanya pendidikan kita saat ini sudah saatnya banting setir untuk menyentuh aspek emosional dan spiritual, sebab bukan rahasia umum juga jika pendidikan kita hanya bertumu pada aspek cognitive (pengetahuan) belaka. Silahkan saja jika tidak setuju tapi fakta dan outputlah yang bicara.

Maka walaupun UN diselenggarakan tiap tahun dan standar ditinggikan, jika proses dan system pembelajaran tidak dibenahi terutama dari segi sarana atau prasarananya, dapat dipastikan peningkatan mutu dan etos kerja keras bangsa ini bagai mimpi di siang bolong.

Baca Selengkapnya......

Saturday, April 14, 2007

Wajah Buram Agama

Meneropong Wajah Buram Keberagamaan
Oleh Abdul Kholiq Mahmudi*

Mempelajari agama-agama bukanlah hal yang mudah. Setidaknya itulah yang dialami mahasiswa perbandingan agama belakangan ini. Selain karena agama erat dan sarat sekali berhubungan dengan keyakinan yang tidak bisa diutak atik. Ia juga merupakan hasil dari pencapaian pencarian manusia yang paling fundamental. Dimensi agama bersifat abstark, transenden bahkan sekaliguas dianggap sakral. Benar tidaknya suatu agama, seringkali “berbulan-madu” atas nama keyakinan saja. Pemahaman hanya terhadap satu agama juga dipercaya sebagai pemicu konflik dan mematikan rasa agama sendiri yang bertujuan untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia kelak nanti.

Oleh karena itu, eksplorasi kritis terhadap agama-agama disini sangat di perlukan. Meskipun, begitu pengkajian terhadap agama-agama bukan berarti mau mencari mana agama yang benar dan yang salah; atau yang asli dan palsu; dan kemudian menjustifikasinya; lebih dari itu ingin mencari titik temu dari setiap agama. Apalagi mau menjadikan agama sebagai polisi moralitas yang mampu memanusiakan manusia tanpa kehilangan identitas kebebasan dan khalifahnya.

Selain itu, umat beragama tentunya harus mampu dan memahami karakteristik serta ajaran inti dari agama-agama yang ada. Dengan demikian, pendekatan studi agama-agama masih menemukan relevansinya dan akan terus releven dalam setiap zaman.

Wacana agama seolah tak pernah surut menjadi bahan perdebatan. Agama adalah tema lama yang selalu mengalami perkembangan dari masa kemasa. Sejak lebih dari 3000 tahun lalu manusia mempunyai agama dan menyembah Tuhan. Pemahaman terhadap agamapun selalu berubah sesuai dengan konteks yang menjadi cetakannya. Tuhan yang dipersepsikan pun mengalami pasang surut. Mulai dari monisme, monotheisme sampai politheisme. Monotheisme yang yang menjadi landasan tiga agama besar; Yahudi, Nasrani dan Islam pun sering dianggap sebagai turunan dari politheisme.

Dengan demikian, tradisi Hindu adalah monoteisme dan sekaligus politeisme secara teologis. Kaum parenialis juga menegaskan bahwa Kebenaran dan Tuhan adalah One secara esensial, tapi menjadi many –dalam bentuk “kebenaran-kebenaran” dan “tuhan-tuhan”-- ketika ditangkap dan diinterpretasi oleh milyaran umat manusia dengan latar belakang agama, etnik, ras, dan bangsa yang berbeda-beda.

Berkaitan dengan persoalan di atas, Paul Tillich, seorang pakar studi agama dalam buku Teologi Kebudayaannya menyatakan bahwa agama adalah konfleksitas. Ia mewujud dalam berbagai ranah kehidupan manusia, salah satu bentuk manifestasinya adalah budaya.
Dengan kata lain, agama selalu menjiwai seluruh gerak kebudayaan. Terutama bersentuhan dengan sejarah manusia yang selalu bersinggungan dengan dimensi kesucian agama memberikan implikasi besar terhadap kontruksi kebudayaan dunia. Sebab kebudayaan merupakan cerminan dinamika dua elemen fundamental dalam kehidupan manusia yaitu agama dan rasio.

Jika kita mau jujur dan runut kebelakang Abad pertengahan sering disebut abad agama, baik islam di masa kejayaannya ataupun kristen sebelum masa renaisans betul-betul mendominasi. Gereja menjadi institusi yang punya hak legitimasi kebenaran, segala sesuatu yang bertententangan dengannya diberangus.

Singkat kata, budaya yang didominasi agama kadang mematikan rasio, sebagai contoh ketika Galileo menyatakan bahwa sebetulnya yang bergerak dalam sistem tata surya itu bukan matahari, tetapi bumi. Penganut doktrin kristen yang beranggapan lain dan bereaksi keras serta pada akhirnya menghukum mati Galileo dengan cara meminum racun.
Hegemoni agama terhadap negara acapkali sering terjadi. Bahkan pepahaman ini mendarah daging di masa-masa tempo dulu. Hingga Penyair muslim terkenal, sebut saja Jalaluddin Rumi, mmengilustrasikan lewat kata-kata; "Di negara yang diperindah cinta, akal digantung; begitupun di negara yang diperintah akal, agama disembelih" seakan tak terbantahkan.

Persinggungan agama dengan ilmu atau rasio kerap kali menimbulkan pengaruh cukup besar. Secara diametral keduanya saling mempengaruhi. Perkembangan ilmu yang demikian pesat akhir-akhir ini yang diramalkan oleh para ahli akan mematikan agama, ternyata tak terbukti. Agama bahkan tampil kembali kepermukaan dengan bentuknya yang baru.

Tantangan sains yang positivis yang memarjinalkan agama dan mengagapnya tak berguna karena tak bisa dibuktikan secara ilmiah mendorong para agamawan untuk mengkaji kembali agama secara lebih mendalam dan mencari bentuk relevansinya dengan keadaan sekarang. Agama di interpretasikan ulang. Karena pemahaman keberagamaan selalu meruang dan mewaktu, maka bentuk keberagamaan era sekarang pun sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio historis zaman ini.

Pada era globalisasi agama dan budaya sekarang ini, umat suatu agama di seantero dunia secara alamiah harus bersentuhan dan bergaul dengan budaya dan agama orang lain. Mereka juga dituntut tidak lagi menutup diri alias membuka diri. Keterbukaan dan sikap membuka diri dalam ruang publik dan dialog antar keyakinan diharapkan akan mendorong pemahaman keberagamaan yang pluralis, toleran dan egaliter.

Namun hal itu bukan berarti tanpa hambatan, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, tentunya akan mengalami kesulitan keagamaan ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Hambatan itu, terkadang berupa pemahaman keagamaan yang terlalu ekslusif, doktriner, rigid dan kaku.

Pengklaiman bahwa agamanya yang terbenar akan menimbulkan fanatisme yang berlebihan. Agama dan keyakinan lain akan dianggap sebagai sesat. Maka dengan serta merta lahilah peperangan dan pembunuhan masal, yang sering terjadi atas nama agama dan Tuhan. Semisal, kasus Sampit, Ambon--rasanya masih mengiang ditelinga kita. Betapa dahsatnya akibat yang harus dipikul dengan kehilangan keluarga, sanak famili, handai tolan dan harta benda, ketika keberagamaan yang seharusnya menentramkan malah menjadi mala petaka kemanusiaan.

Selain itu, setiap agama mau tidak mau harus mendasarkan diri pada The Holy Scrupture atau kitab suci. Teks dalam kitab suci diletakkan dalam posisi yang supreme, begitu tinggi sehingga mengalahkan realitas hidup yang terus berubah.

Fenomena sosial yang kita lihat akhir-akhir ini, yaitu fundamentalisme, sebetulnya merupakan wujud modern dari kecenderungan yang sudah berurat dan berakar lama dalam agama-agama Kitab-Suci-Tertulis, yaitu kecenderungan untuk meninggikan teks di atas pengalaman kongkrit manusia. Dasar pokok dalam fundamentalisme agama--termasuk di dalamnya adalah fundamentalisme Islam adalah kehendak untuk mengukuhkan teks.

Dangan kata lain, Fundamentalisme ini seringkali dituduh sebagai biang keladi penghambat terjadinya harmonisasi hubungan antar agama, karena teks yang menjadi rujukannya hanya bersandarkan pada satu keyakinan. Sementara, realitas manusia adalah beragam, maka tidak mungkin menyamaratakan manusia dalam satu teorema dan pandangan hidup meskipun itu kitab suci namanya. Kalau sikap pluralis, egaliter dan inklusif tidak bisa di tanamkan sekarang, maka yang muncul kemudian adalah sikap sebaliknya; kemungkinan kisah-kisah tragis fanatisme keagamaan akan dicatat kembali dalam lembaran buram sejarah agama-agama.

Keberadaan agama sendiri secara fungsional guna mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam keselarasan dirinya dengan alam dan sesamanya. Terutama dalam mencari dan mencapai kebenaran yang terus-menerus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Dinamika zaman yang sarat akan konflik menjadikan fungsi agama menjadi sebuah sarana harmonisasi bagi setiap kontradiksi yang ada dalam kehidupan manusia sehingga setiap bentuk perseteruan tidak terjadi antara manusia dan sesamanya.

Walaupun demikian, perbedaan kepentingan dari beragam keunikan manusia dan beraneka macam bentuk agama menjadikan manusia harus mempertanyakan setiap kebenaran yang ada dalam hidupnya dan hal semacam ini tentu saja menjadi sebuah proses kesejarahan dan dialektika terus-menerus dalam mencari gambaran Tuhan di dalam diri manusia.

Agama dan pluralisme

Dalam wacana hubungan antar agama sikap yang berusaha saling memahami, terbuka (inklusif) dan egaliter sering disebut toleransi. Toleransi adalah norma dan etika yang bisa ditemukan pada kefitrian insani. Ukuhuwah dan toleransi merupakan pesan abadi Qurani yang berulang-ulang disampaikan oleh para Nabi.

Tak hanya itu, toleransi juga hampir sepadan dengan kata pluralisme. Dari sudut pandang bahasa kata ini sangat mudah dipahami, plural berartikan banyak jumlah. Kata pluralisme bermula dari adat-istiadat gereja pada abad-abad pertengahan. Diawal kemunculan istilah ini, seseorang yang memiliki banyak kedudukan gerejani--misalnya seorang pastor yang sekaligus politisi dan pedagang--disebut sebagai seorang pluralis. Dalam konteks kekinian, pluralisme memiliki pengertian yang berbeda-beda bergantung pada sudut pandangannya. Pengertian pluralisme secara politis, filsafat, sosial, dll. Lantas bagaimana makna pluralisme dalam agama?

Term pluralisme saat ini seolah menjadi trade mark agama. Julukan sang pluralis pun menjadi kebanggaan. Gejala pluralisme populer bersama modernisme. Sebut saja Nurcholis Majid, tokoh Neo-Modernisme Indonesia misalnya merupakan salah seorang penggagas pluralisme sebagai alternatif menjawab kondisi keagamaan di Indonesia, yang rentan konflik dan keluar dari ortodoksi fatalistik.

Wacana pluralisme saat ini semakim diminati oleh banyak kalangan. Seiring dengan makin banyaknya konflik yang ditengarai sebagai akibat dari perbedaan agama atau mazhab. Pluralisme agama adalah sebuah solusi ilmiah untuk meredam keadaan yang melanda tersebut. Dalam pengertian lain, Pluralisme agama memberikan pesan untuk setiap umat manusia bahwa keyakinan kepada sebuah agama tertentu bukan alasan untuk menyalahkan agama lainnya. Pluralisme agama menyatakan bahwa kebenaran adalah milik bersama.

Namun, konsep ini bukan tanpa masalah, tapi pluralisme menyatakan semua agama itu memiliki hakikat kebenaran. Islam yang monotheis benar. Kristen yang politheis benar. Hindu yang trimurti juga benar. Dalam konteks ini, mungkinkah akal kita bisa menerima kebenaran dua hal yang kontradiktif ini? Mungkinkah Tuhan itu satu dan pada saat yang sama Tuhan itu tiga? Mungkinkah Tuhan itu ada dan pada saat yang sama tidak ada ?
Menilik persoalan tentang pluralisme yang kian pelik dan rumit, maka Allamah Mizbah Yazdi mengkritik dengan pedas pandangan ini sebagaimana dikutip Alireza al-Athas dalam artikelnya “terminologi Pluralisme”. Ia memberikan empat terminologi pluralisme serta mengkritisinya, sebagai berikut; pertama, Pluralisme adalah toleransi. Kedua, Pluralisme berarti memandang sama sebagai satu hakikat. Ketiga, Pluralisme memandang bahwa hakikat itu banyak bentuknya, dan keempat, pluralisme berarti hakikat terdiri dari beberapa unsur dan masing-masing tersimpan dalam sebuah agama. Namun, dalam tulisan ini hanya dua yang akan dibahas secara gamlang dan luas.
Pertama pluralisme adalah toleransi, artinya bahwa tidak seharusnya umat manusia saling memerangi. Hidup tentram dan tenang merupakan harapan setiap umat manusia. Agama atau mazhab bukan kendala untuk hidup bertoleransi diantara para pemeluk agama yang berbeda. Agama Islam sama sekali tidak menentang pluralisme sosial dalam pengertian ini. Bahkan Islam sangat menjunjung tinggi toleransi. Islam jelas-jelas menentang pemaksaan pendapat, apalagi bila dibarengi dengan kekerasan fisik. Setiap manusia berhak memilih pendapatnya sendiri, berhak memilih agama, partai atau mazhabnya sendiri, namun pada saat yang sama manusia juga harus menghormati orang lain yang memiliki pilihan berbeda dengan dirinya.

Kedua pluralisme Memandang Sama sebagai Satu Hakikat. Dalam pandangan ini, perbedaan antara agama-agama yang ada terjadi karena perbedaan interpretasi, bukan kerena perbedaan esensi agama itu sendiri. Oleh karenanya, kebenaran hakiki bukan milik satu golongan. Setiap orang memahami hakikat agama sesuai dengan inteletualitas dan latar belakang kehidupannya. Tidak ada yang berhak mengklaim pemahaman pribadinya atas hakekat sebagai yang paling benar.

Dalam pengertian ini, agama dianggap semata-mata rekayasa akal. Karena setiap orang memiliki akal, maka, berdasarkan akalnya masing-masing, mereka berhak menafsirkan hakikat. Terminologi kedua ini juga menjadikan hakikat sebagai sesuatu yang tidak dapat dipahami manusia sepenuhnya.

Lalu, bagaimana dengan islam, jika term tersebut dipakai oleh umat islam. Masih menurut Yazdi, Islam jelas berkeberatan dengan konsep pluralisme dalam pengertian semacam ini. Ambil Contohnya, di beberapa ayatnya, Al-Quran menolak hakikat yang dipahami umat Kristen berkaitan dengan konsep anak Tuhan (al-Kahfi, : 4-5).

Atas kritikan Quran ini, terminologi ini memberikan jawaban yang sangat absurd. Mereka bahkan tidak segan-segan menyatakan bahwa Al-Quran yang ada di tangan kita saat ini sama sekali bukan wahyu Tuhan melainkan hasil interpretasi para agamawan di zaman dulu. Karena itu, interpretasi mereka tersebut dilatarbelakangi pengetahuan sosial, fisik, dan natural yang terbatas dan sangat klasik.

Sementara itu, kemampuan interpretasi manusia telah jauh berkembang. Maka, semestinya, interpretasi tentang hakikat dimasa sekarang ini jauh lebih maju dan oleh sebab itu, hasilnya harus jauh lebih baik. Begitulah seterusnya. Manusia tidak akan pernah sampai pada hakekat kebenaran. Manusia bahkan tidak akan mampu membuktikan hakekat kebenaran bahwa Tuhan itu ada atau tidak, apalagi kalau harus membuktikan bahwa Tuhan itu satu atau banyak. Sangat aneh dan absurd!

Hal yang senada pun di ungkapkan oleh Peter Donovan, bahwa pluralisme tidak hanya menyelundupkan pesan toleransi sekaligus penolakan terhadap agama, tetapi juga agen dari liberalisme politik internasional.

Begitupun dengan Jurgen Multman, memberikan tanggapan tentang pluralisme tidak hanya berkutat di sikap toleransi semata. Tapi harus melampui itu. Bahkan kalau perlu toleransi itu tidak lebih sebagai pemberangusan. Pendek kata, Ia menyetarakan pluralisme agama dengan konsumerisme masyarakat barat, satu gaya hidup pemujaan produk, sebagai berkah proyek admass dan imajinatisasi Amerika. Sebab plurarisme adalah sebuah fenomena ambisi ekonomi dan sosial.

Pluralisme dan liberalisme

Pluralisme dan liberalisme merupakan ramuan mujarab untuk menuntaskan masalah fanatisme agama. Sejalan dengan liberasi ekonomi politik dan ekonomi internasional, liberasi dalam bidang pemikiran pun dicakarkan. Kesenjangan ekonomi, peperangan, dan kelaparan adalah masalah manusia yang tidak bisa hanya dituntaskan melalui bantuan ekonomi dan gencatan senjata. Tentunya ada banyak sebab yang melatarbelakanginya, dan tentu saja ada bayak cara untuk menuntaskanya.

Pemikiran yang liberal dan maju diharapkan dan diyakini akan mampu mendorong perubahan kearah yang lebih baik dan maju. Karena melalui gaya berpikir yang rasional, futuristik, kontektual dan tidakManusia terkadang memahami hakikat didalam agama Yahudi, terkadang juga memahaminya didalam agama lainnya. dogmatis menjadi tumpuan pencerahan. Dominasi taqlid diharapkan bisa dihapus, dan umat bisa keluar dari kungkungan tradisi yang tidak produktif. Dengan adanya kesadaran dan pandangan dunia yang seperti itu diharapkan manusia bisa menempatkan agama dalam posisinya yang tepat sebagai rohmatal lilalamin. Artinya agama bukan lagi sebagai pemicu Tumbuh bukan hanya dilingkungan intelektual perkotaan, para mahasiswa, akademisi dan aktivis berbagai kajian diperlagai temapat menjadikan paradigma tersebut sebagai wacana baru pemikiran. Konflik dan penghancur kebudayaan, tetapi sebagimana yang Tillich katakan menjadi fondasi budaya manusia.

Beralih kemasalah liberalisme, liberalisme seakan bak jamur dalam arena pemikiran. Modernisme, neo-modernisme, atau yang lebih populer sekarang islam liberal tidak hanya terbatas kepada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaharuan. Ia telah menjadi wacana yang menyebar kedalam bukan hanya milik para pembaharu, Tapi juga telah menyebar ke dalam kaukus-kaukus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan.

Konstruksi pemikiran yang dibentuk—liberalisme--dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya pemikiran selalu menawarkan alternatif serta persefektif baru bagi kesadaran. Seperti Fazlur Rahman yang memberikan kesadaran teologi (sebagain) umat Islam di Indonesia dengan konsep pendekatan holistik--yang dikenal dengan “teologi Qur’ani”--yang disodorkannya. Maka dengan serta-merta telah membuka cakrawala pandang baru yang lebih fungsional, liberal, dan applicable dalam merespon problema sosial kemanusiaan mutakhir.

Sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik lahir. Di dalam negeri sendiri pun kerap bermunculan para pemikir yang jempolan. Seperti Harun Nasution, Nurcholis Majid, Gus Dur, Kang Jalal, Kuntowijoyo dan lainnya. Kemudian generasi mudanya seperti Ulil, dengan islam liberalnya juga menjadi fenomena baru akhir-akhir ini.

Akhir kata, Agama yang sering dianggap sebagai esensi yang terdalam dan menyentuh setiap aspek kehidupan ternyata sarat tujuan. Secara fungsional keberadaannya bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam keselarasan dirinya dengan alam dan sesamanya. Terutama dalam mencari dan mencapai kebenaran yang terus-menerus berubah seiring dengan perkembangan zaman.

Ditengah konflik global agama diharapkan mampu menjadi mainstream harmonisasi bagi setiap kontradiksi yang ada dalam kehidupan manusia sehingga setiap bentuk perseteruan tidak terjadi antara manusia dan sesamanya. Perbedaan kepentingan dari beragam keunikan manusia dan beraneka macam bentuk agama menjadikan manusia harus mempertanyakan setiap kebenaran yang ada dalam hidupnya. Proses kesejarahan dan dialektika dalam mencari gambaran Tuhan di dalam diri manusia terus-menerus berlangsung dalam dimensi pertarungan ruang dan waktu.

Jika tujuan pokok beragama merupakan pencapaian perkembangan rohani dalam diri manusia, sehat dan matang secara psikologis, seimbang dalam tataran spritual dan material. Apabila gagal mencapai keadaan tersebut, maka S Freud menggambarkannya sebagi suatu keadaan "neurosis obsesional" dalam diri umat beragama. Yaitu fenomena orang-orang yang tidak mencapai perkembangan rohani, mencapai hakekat agama sebagi cure of the soul (penyembuh ruhani).

Oleh karena itu, agama dengan segala pluralitas nan ragamnya, mulai dari pluralitas pemahamannya, pluralitas kondisi sosio historisnya mesti tetap dipahami sebagai suatu kerangka yang mampu menjembatani kearah terbentuknya manusia yang paripurna. []

*Penulis Adalah Mantan Presiden Mahasiswa Jurusan Perebandingan Agama Fakultas Ushuluddin periode 2004/2005 dan Aktifis HMI Ushuluddien. Kini menjabat Mentri Dalam Negeri BEM KBM UIN SGD Bandung.

Baca Selengkapnya......
 
@Copyright © 2007 Depkoinfokom HMI Design by Boelldzh
sported by HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Kabupaten Bandung
Pusgit (Pusat Kegiatan) HMI Jl.Permai V Cibiru Bandung 40614
email;hmi[DOT]kab[DOT]bdg[ET]gmail[DOT]com