Friday, April 27, 2007

Islam Lokalitas

Islam Lokalitas; Menjadi Islam Tanpa Menjadi Arab
Oleh Kasman

Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Texere vol. III Zulqa’dah 1424 H/Januari 2004 M dengan judul “Islam Lokalitas; Menjadi Islam Tanpa Menjadi Arab”. Tulisan ini mengulas tentang sebuah mode berislam yang lebih mengakomodir konteks dan realitas kebudayaan lokal

Ada sebuah pemeo yang berkembang bahwa seorang aktivis Islam akan diragukan keislaman gerakannya kalau ternyata aktivis tersebut gagap dalam menggunakan istilah-istilah yang islami. Bahkan kata sahabat –yang dari sononya sudah arab— dianggap belum islami kalau tidak diganti dengan ikhwan. Apatah lagi dengan istilah yang lain. Kalau aktivis tersebut tidak fasih menyebut kata ukhti/akhi, afwan, syukron dan lain sebagainya, maka aktivis tersebut diragukan ke-ikhwan-annya.

Pada kasus ini, nampak jelas adanya upaya untuk menjalankan proses islamisasi diseluruh sektor kehidupan termasuk bahasa. Proyek untuk mensosialisasikan “dimensi keislaman” sebagai “budaya alternatif” telah merambah bahasa dengan adanya upaya meng-islam-kan bahasa lokal agar menjadi islami.

Dalam kerangka pikir ini, penampilan Islam menjadi “budaya ideal” yang begitu agung dan luhur berdampak nehatif dalam hubungannya dengan budaya lokal. Akibatnya budaya lokal menjadi tersisih dan diposisikan sebagai budaya yang usang dan patut ditinggalkan. Bahkan lebih jauh budaya lokal terdefinisikan sebagai sumber takhyul, bid’ah dan khurafat yang harus dilenyapkan.

Menjadi Islam; Gimana Dong?
Seorang teman pernah mengatakan bahwa sesungguhnya manusia itu lucu dan sekaligus membingungkan. Lucu karena mereka menganggap bahwa mereka membutuhkan Islam dan yang membingungkan bagi teman tersebut, karena dalam memenuhi kebutuhannya akan Islam, mereka selalu mencari islam dimana-mana. Buat apa mencari Islam, kata teman tersebut, kalau membutuhkan Islam, berhentilah mencarinya dan menjadilah Islam.

Dalam kerangka pikir sederhana, kata-kata teman diatas menjadi sangat sulit untuk diterima. Apakah mungkin manusia berhenti saja mencari Islam dan menjadi Islam? Lalu bagaimana caranya? Padahal jelas bahwa Islam itu lain, manusia yang mau menjadi Islam itu lain. jadi ada jarak disini, itu kalau kita berfikir secara sederhana.

Kalau kita menganalisisnya secara lebih mendalam, kita akan bersentuhan dengan pemikiran Al Jabiri tentang nalar arab yang membangun cara-corak berislam umat islam sampai pada hari ini. Al Jabiri mengatakan bahwa umat Islam, dalam melakukan pembacaan terhadap Islam, mereka menggunakan tiga macam kerangka pikir yang disebutnya Akal atau Nalar.

Al Jabiri(1) mengklasifikasi akal arab menjadi tiga tren, yaitu; akal retoris (Al “Aql Al-Bayani), akal gnostis (Al ‘Aql Al-Irfani) dan akal demonstratif (Al “Aql Al-Burhani). Bangunan akal inilah yang akan kita gunakan dalam menganalisis lebih jauh tentang bagaimana caranya menjadi Islam.

Menjadi Islam atau Menjadi Arab
Seperti apasih cara menjadi Islam yang baik? Mungkin pertanyaan ini adalah pertanyaan yang senantiasa menghantui hati nurani anda ketika anda berusaha menjadi Islam yang baik dan benar. Berbagai cara berkecamuk dan saling memperebutkan tawaran cara, namun semua itu tentu tetap menyisakan pertanyaan mendalam. Yang akan diulas pada bagian ini adalah menjadi Islam dengan menjadi Arab.

Diktum ini berarti bahwa untuk menjadi Islam yang baik, maka seseorang harus “menjadi Arab”, ini berarti bahwa sesungguhnya tidak ada keterpisahan antara Islam dengan Arab sebagai budaya kandungnya. Cara berpikir inilah yang dikenal dengan akal retorisnya Al Jabiri. cara berfikir sederhana akal ini adalah bahwa untuk menjadi Islam yang baik, maka seseorang harus mempelajari Islam dari sumber dasarnya.

Sementara itu sebagaimana mahfum, sumber dasar Islam adalah Al Qur’an yang dari sono-nya berbahasa arab. Sementara itu, bahasa arab yang genuine adalah bahasa arab badui yang belum terpengaruh dengan bahasa-bahasa diluarnya yang sudah melakukan hubungan yang lebih intens dengan pihak luar. Jadi untuk memahami secara mendalam Islam, kuasailah bahasa arab.

Akibat dari logika berpikir seperti ini adalah “perspektif pemikiran ilmu-ilmu agama (ilmu kalam dan ilmu fiqh) tidak mampu melepaskan diri dari prinsip-prinsip dasar bahasa arab yang merupakan warisan akal arab badui yang tidak melihat adanya hubungan kausalitas antara kata dan makna. Akan tetapi, hubungan di antara keduanya sekedar hubungan kedekatan terpisah”(2).

Implikasi lebih jauh dari akal ini adalah :
“Mereka juga telah memfungsionalisasikan secara simbolis prinsip retoris tersebut dalam memahami pesan-pesan kosmologis, keilmuan dan teologis Al Qur’an dan akibatnya pesan-pesan tersebut tidak mampu keluar dari kungkungan kekuasaan akal jahiliah dalam upaya untuk melebarkan jangkauan misi pembebasan manusia dari alam kegelapan menuju alam ketentraman”.(3)

Cara berpikir Islam model ini adalah cara berpikir yang menganggap bahwa ada pemilahan yang tegas antara budaya Islam dengan budaya yang tidak islami, disamping itu juga tidak dilakukannya pemilahan yang jelas antara Islam sebagai nilai dengan budaya arab sebagai ranah budaya dimana nilai Islam pertama kali di praxiskan. Sebuah pemikiran yang sebenarnya menganggap bahwa arab itu identik dengan Islam.

Jadi untuk menjadi Islam, diukur pada sejauh mana seseorang itu mampu menjalankan “dimensi Islam” dalam seluruh sektor kehidupannya. Semisal, penyebutan ikhwan dan akhwat untuk para aktivis gerakan Islam. Panggilan ukhti dan akhi dalam komunitas mereka, pada akhirnya menjadi alat identifikasi pragmatis atas keislaman seseorang.

Menjadi Islam atau Memupuk Irasionalitas
Berbicara tentang Islam yang baik menjadi makin menarik ketika sekelompok umat Islam mencoba mengembangkan Islam dengan menundukkan rasio dibawah sesuatu yang bersifat irasional. Proses rasionalisasi digunakan hanya untuk mengantar pada sebuah kesimpulan keberagamaan yang bersifat irasional. Corak berislam seperti ini ditemukan dalam gerakan “gnostikisme”.

Menurut Al Jabiri, sebagai aktivitas kognitif, gnostik berarti sesuatu yang dikatakan oleh para pemeluknya sebagai al-kasyf (unveiling, decouverte) dan al-‘ayan (intuisi). Sebagai lapangan kognitif, gnostik adalah sinkretisme dari legenda, kepercayaan dan mitos berbaju agama yang dijadikan legitimasi pembenaran dari apa yang diyakini oleh pemeluknya sebagai pengertian esoteris yang tersembunyi di balik wujud eksoteris dari teks agama(4).

Cara berfikir keislaman seperti ini telah melahirkan corak Islam yang cendrung irasional. Dari sudut pandang kebudayaan, Islam corak ini melahirkan budaya masyarakat yang penuh dengan mistisisme dan keajaiban, cerita-cerita kehebatan para wali mrenjadi sangat heroik dan mengagumkan. Alat ukur keberislaman seseorang diukur dengan ukuran-ukuran yang berisfat intuitif dan sejauhmana mereka mengalami proses mukasyafah.

Menjadi Islam; Mempraktekkan Rasionalisme Kritis
Semangat untuk kembali menjadikan Islam mampu mewarnai peradaban manusia hari ini telah mendorong para intelektual Islam mencari berbagai macam formula untuk merangsang kebangkitan itu. Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab adalah apa jawaban Islam terhadap modernitas, dan sejauhmana jawaban yang diberikan itu tidak mencerabut Islam dari akar tradisinya?

Al Jabiri dengan begitu keras meneriakkan “. . ., tidak ada jalan lain menuju modernisasi kecuali berpaling kedalam legasi pemikiran kita dengan menggali potensi yang kita miliki sendiri”(5). Beliau mengajak umat bahwa untuk menjadi Islam yang baik, maka beliau mengajak kita untuk berpegang kepada bagian yang paling substansial dari khazanah Averroisme, yaitu semangat rasionalisme kritis yang memproduksi pemikiran baru, bukan sekedar mengambil bagian formalnya, yang dalam hal ini adalah produk-produk pemikirannya(6).

Cara berfikir ini menekankan bahwa untuk menjadi Islam yang baik bukan dengan mengikuti ataukah mengamini apa yang telah dihasilkan oleh para pemikir kritis pada zaman dulu seperti Ibn Rusyd dan Ibn Hazm, melainkan bagaiman semangat mereka itu, umat dapat bangkit dan berfikir demi masa depannya. Jadi, kebangkitan Islam dapat dilakukan dengan menganilisa secara kritis masa lalu kemudian melampauinya.

Dengan terbukanya ruang untuk berfikir secara kritis itu, maka semua level umat akan memiliki-mempunyai kesempatan untuk memikirkan proyek masa depannya. Setiap sektor umat akan menjadi wahana bagaimana Islam dikembangkan dan disebarkan. Islam akan hadir dalam bentuk kait-kelindan dengan tradisi dan budaya lokal dimana Islam didedahkan tanpa harus menjadi sebuah bangunan sinkretisme mistis. Bahkan Islam menjadi sebuah wadah yang begitu terbuka untuk proses kontestasi.

Islam Tanpa Sentrum; Belajar Dari Seni
Menjadi Islam tanpa menjadi arab, akan melepaskan Islam untuk berselingkuh dengan bangunan budaya lokal dimana nilai Islam didedahkan dan dipaparkan. Dalam kondisi ini, islam menjadis eperti lepas dari pondasi budaya ibunya selama ini, yakni budaya arab. Inilah Islam tanpa sentrum.

Islam tanpa sentrum maksudnya bahwa sebenarnya islam adalah sebuah nilai universal yang berhak dan mampu ditampung oleh budaya dikawasan manapun di dunia ini. Cara berislam seperti ini banyak di dorong oleh pemnganut pemikiran posttradisionalisme Islam. Strategi Islam tanpa sentrum ini adalah strategi pribumisasi Islam.

Disamping itu, Islam tanpa sentrum sangat kontra-produktif dengan strategi puritanisasi dan modernisasi. Strategi puritanisasi merupakan sikap yang sangat ekstrim dan tidak bersahabat dengan lokalitas yang ada. Bahkan menurut Ahmad Baso, mereka ingin menggantikan lokalitas dengan alternatif yang lebih murni dan asli Islam(7).

Disamping itu strategi ini bahkan bisa membuat masyarakat lokal mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri, karena mereka dipaksa meninggalkan budaya local yang selama ini menjadi perekat kognisi sosial dan penghubung kedekatan psiko-sosial yang mereka miliki, namun mereka masyarakat tidak diberi tawaran budaya baru yang bisa mereka jadika sebagai pengganti dari budaya kandung mereka yang diberangus.

Islam dengan wajah puritanisme mebuat masyarakat-komunitas lokal mengalami shock culture yang sangat keras. Menurut Baso, kekuatan ini merupakan kekuatan yang berupaya mendisiplinkan dan mengontrol produksi kebudayaan dan ekspresi keagamaan(8). Masih menurut Baso, ini nampak pada semangatnya menjaga “kemurnian” dan “keaslian”, sementara sasarannya adalah pengaturan produksi dan konsumsi masyarakat lokal(9).

Strategi lain yang sangat sentralistik dan mengedepankan Islam sentrum adalah gerakan modernisasi. Corak strategi ini memang tetap memberi ruang aktualisasi bagi budaya lokal, tapi budaya lokal itu harus mengalami islamisasi. Seperti missal, kesenian tari-tarian, memang tetap diberi ruang untuk berkembang, tetapi penari perempuan diwajibkan memakai jilbab.

Antara puritanisasi dan modernisasi tetaplah merupakan upaya pemurnian dan pengaslian warna Islam masyarakat yang sangat arab sentris. Hal ini karena, kalau berbicara tentang budaya Islam, maka pertanyaan mendasar adalah budaya mana yang paling representatif mewakili budaya Islam? Sementara kita akan kesulitan untuk mengklaim bahwa ada budaya yang bisa dikataan sebagai budaya Islam yang genuine yang terpisah dari lokalitas manapun.

Bahkan menurut K.H. Abdurrahman Wahid(10), ada dua aspek penting yang selama ini kurang diperhatikan dalam berbincang tentang hubungan antara Islam dan seni, yaitu :
1. belum jelasnya pembagian wilayah antara seni dan agama dalam Islam, termasuk “pembidangan” antara wilayah kesenian Islam dan kesenian bukan Islam
2. kaitan antara ajaran Islam disatu pihak dan pandangannya tentang seni di pihak yang lain.

Problem terbesar ketika kita mencoba mengajukan tawaran Islam tanpa sentrum, karena seni berbicara tentang keindahan dan mungkin bahkan kadang-kala sangat erotis, nah sementara itu, wilayah inlah yang paling banyak diatur oleh Islam, atau meminjam bahasa Gus Dur;
“sensualitas dan naluri erotik adalah bagian inherent dari kehidupan manusia, dan seni mau tidak mau harus “merekam”-nya sebagai ekspresi visual, padahal visualitas dan hal-hal erotis justru lapangan yang “paling diatur” oleh Islam”(11)

Islam tanpa sentrum tentu akan memberi ruang lebih luas kepada seni untuk menjadi ranah aktualisasi potensi kemanusiaan yang paling sublim dan mendasar seperti dikatakan Kuntowijoyo, seni mampu meruntuhkan mitos, dimana mitos merupakan abstraksi dari yang konkrit sementara seni membalikkan keadaan ini, karena seni justru merupakan upaya konkretisasi dari yang abstrak(12). Atau nasehat bijak Gus Dur;
“. . . pemberian otonomi penuh kepada seni sebagai bidang kehidupan yang dalam analisa terakhir tokh akan membawa manusia kepada kesadaran akan kebenaran Allah, karena Ia-lah keindahan mutlak yang memberikan inspirasi bagi ekspresi seni”(13)

Islam Lokalitas; Islam Pribumi
Upaya untuk menghadirkan wajah Islam dalam pakaian-pakaian lokal menjadi pembicaraan yang menarik bila diperhadapkan dengan strategi pemurnian dan pengaslian ajaran islam melalui formalisasi ajaran Islam oleh sebagian gerakan puritanisasi dan modernisasi Islam. Apakh memang ada celah untuk menjadi islam yang baik dengan wajah local masing-masing merupakan pertanyaan yang coba dijawab oleh lokalitas-lokalitas yangselama ini dibungkam dan dipinggirkan serta tidak siberi ruang ekspresi yang luas, padahal mereka adalah anak kandung sejarah yang tidak bidsa dinafikan.

Berbicara tentang lokalitas ini secara serius bila dikaitkan dengan doktrin keislaman, Ahmad Baso menulis;
“dalam satu sei Pengajian Agama dan Kebudayaan “Pribumisasi Islam” yang dilaksanakan oleh Desantara, Juli 2002 lalu, Azyumardi Arza mengatakan “Islam pada akhirnya memang fenomena lokal”. Karena menurutnya, apa yang disebut dengan yang local itu adalah suatu realitas historis dan sosiologis-kultural. “Bahkan dalam konteks Al-Qur’an, ayat-ayatnya sangat lokal” katanya. “jadi sesungguhnya yang lokal-lokal itu diakui dalam agama”(14)

Islam Pribumi yang selama ini dicap merupakan Islam yang penuh dengan takhyul, bid’ah dan khurafat, ternyata merupakan anak sah dari Islam. Sehingga amatlah riskan kalau gerakan kebangkitan Islam lokalitas diangap sebagai makin menurunnya “dimensi keislaman” dalam budaya lokal. Karena sesunguhnya, yang berkurang dari Islam pribumi bukanlah “dimensi Islam” melainkan “dimensi Arab”.

Hal ini karena dalam pemahaman Islam dominan selama ini, perbedaan antara Islam dan Arab hampir-hampir tidak dapat dilakukan (atau sengaja tidak dilakukan?) dan ini menjadi ladang empuk terjadinya homogenisasi kebudayaan yang ujung-ujungnya berakibat pada munculnya hegemoni kebudayaan. Kebudayaan membawa muatan dominatif.

Dalam konteks seperti inilah pribumisasi Islam menemukan muaranya, karena sebagaimana disinyalir Baso, pribumisasi Islam bukan hanya menawarkan alternatif perspektif terhadap subalternity, kemarjinalan, lokalitas atau etnisitas, tapi juga merupakan artikulasi suara-suara lokalitas, suara-suara marjinal dan subaltern dalam ruang-ruang publik tandingan(15).

Kebudayaan dalam perspektif lokalitas ditempatkan sebagai arena-ajang kontestasi, mejajakan diri dan negosiasi antar komponen atau seperti kata Gus Dur, kebudayaan adalah seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human social live) yang terbangun atas dasar interaksi sosial sesama manusia, individu maupun kelompok. Kebudayaan dengan demikian, dapat dikatakan sebagai representasi proses emansipasi seorang manusia atau suatu masyarakat menuju kearah yang lebih survive(16).

Islam Lokalitas yang hadir dalam bentuk Pribumisasi islam adalah sebuah strategi kebudayaan upaya komunitas local untuk tetpa survive dan pada saat yang sama berusah untuk juga terkategorisasi sebagai sebagai bagian dari Islam. Mereka betul-betul menganggap budaya –meminjam defenisi Homi K. Bhaba-- sebagai aktivitas negosiasi, pengaturan dan pengesahan tuntutan-tuntutan akan representasi diri yang kolektif, yang tidak hanya saling berkompetisi, namun juga kerap saling bertubrukan(17).

Islam lokalitas bekerja dengan memplesetkan segala hal yang berasal dari luar. Meminjam dan merengkuh kuasa dan otoritas luar, lalu, dipakai untuk memperkukuh otoritas dan kemampuan subyektifitasnya sendiri. Sehingga memungkinkan melancarkan siasat-siasat baru menghadapi dominasi dan membereskan hegemoni(18).

Dengan melihat kerangka kerja ini, akan ditemukan sebuah ruang kemerekaan beragama yang tidak melulu hegemonik dan dominatif, namun kreatif, imajinatif dan merangsang manusia sebagai pelaku kebudayan untuk terus melakukan negosiasi demi emansipasi diri demi survivenya kemanusiaan. Semoga...


(1) Abied Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis Terhadap Trilogi Kritik Al Jabiri dalam Muhammad Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda Depan. Bandung, Mizan, cet. I, Juli 2001, hal. 315
(2) Abied Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, ibid, hal. 316
(3) Abied Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, ibid, hal. 316
(4) Abied Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, ibid, hal. 316
(5) Al Jabiri. Muhammad Abid, Bunyah Al ‘Aql Al ‘Arabi, Casablanca. Al Markaz Al Tsaqafi Al ‘Arabi. cet II. 1991. hal 568
(6) Abied Shah. Muhammad Aunul dan Sulaeman Mappiasse, op.cit, hal. 321
(7) Baso. Ahmad, Plesetan Lokalitas. Jakarta. Desantara. Desember 2002. Cet I hal 50
(8) Baso. Ahmad, ibid. hal 51
(9) Baso. Ahmad, ibid, hal 51
(10) Wahid. Abdurrahman. Pergulatan Negara, Agama dan kebudayaan. Jakarta. Desantara. Agustus 2001. Cet 2. hal 160
(11) Wahid. Abdurrahman, ibid, hal 163
(12) Marzuki. A. F. Membangun Semesta Budaya Profetik, Kompas. 21 September 2003
(13) Wahid. Abdurrahman. op.cit. hal 166
(14) Baso. Ahmad, op.cit. hal 54
(15) Baso. Ahmad, bid. hal 24
(16) Wahid. Abdurrahman. op.cit. Pengantar Penerbit. hal vi
(17) Bhaba, Homi K. Reinventing Britain; A Manifesto, dalam N. Wadham-Smith (ed) Brithis Studies Now, Vol 9 April 1997
(18) Baso. Ahmad. Op.cit. hal 82. untuk lebih jelasnya coba bandingkan dengan konsep mimikri kebudayaan dari Homi K. Bhaba.

No comments:

 
@Copyright © 2007 Depkoinfokom HMI Design by Boelldzh
sported by HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Kabupaten Bandung
Pusgit (Pusat Kegiatan) HMI Jl.Permai V Cibiru Bandung 40614
email;hmi[DOT]kab[DOT]bdg[ET]gmail[DOT]com