Saturday, April 14, 2007

Wajah Buram Agama

Meneropong Wajah Buram Keberagamaan
Oleh Abdul Kholiq Mahmudi*

Mempelajari agama-agama bukanlah hal yang mudah. Setidaknya itulah yang dialami mahasiswa perbandingan agama belakangan ini. Selain karena agama erat dan sarat sekali berhubungan dengan keyakinan yang tidak bisa diutak atik. Ia juga merupakan hasil dari pencapaian pencarian manusia yang paling fundamental. Dimensi agama bersifat abstark, transenden bahkan sekaliguas dianggap sakral. Benar tidaknya suatu agama, seringkali “berbulan-madu” atas nama keyakinan saja. Pemahaman hanya terhadap satu agama juga dipercaya sebagai pemicu konflik dan mematikan rasa agama sendiri yang bertujuan untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia kelak nanti.

Oleh karena itu, eksplorasi kritis terhadap agama-agama disini sangat di perlukan. Meskipun, begitu pengkajian terhadap agama-agama bukan berarti mau mencari mana agama yang benar dan yang salah; atau yang asli dan palsu; dan kemudian menjustifikasinya; lebih dari itu ingin mencari titik temu dari setiap agama. Apalagi mau menjadikan agama sebagai polisi moralitas yang mampu memanusiakan manusia tanpa kehilangan identitas kebebasan dan khalifahnya.

Selain itu, umat beragama tentunya harus mampu dan memahami karakteristik serta ajaran inti dari agama-agama yang ada. Dengan demikian, pendekatan studi agama-agama masih menemukan relevansinya dan akan terus releven dalam setiap zaman.

Wacana agama seolah tak pernah surut menjadi bahan perdebatan. Agama adalah tema lama yang selalu mengalami perkembangan dari masa kemasa. Sejak lebih dari 3000 tahun lalu manusia mempunyai agama dan menyembah Tuhan. Pemahaman terhadap agamapun selalu berubah sesuai dengan konteks yang menjadi cetakannya. Tuhan yang dipersepsikan pun mengalami pasang surut. Mulai dari monisme, monotheisme sampai politheisme. Monotheisme yang yang menjadi landasan tiga agama besar; Yahudi, Nasrani dan Islam pun sering dianggap sebagai turunan dari politheisme.

Dengan demikian, tradisi Hindu adalah monoteisme dan sekaligus politeisme secara teologis. Kaum parenialis juga menegaskan bahwa Kebenaran dan Tuhan adalah One secara esensial, tapi menjadi many –dalam bentuk “kebenaran-kebenaran” dan “tuhan-tuhan”-- ketika ditangkap dan diinterpretasi oleh milyaran umat manusia dengan latar belakang agama, etnik, ras, dan bangsa yang berbeda-beda.

Berkaitan dengan persoalan di atas, Paul Tillich, seorang pakar studi agama dalam buku Teologi Kebudayaannya menyatakan bahwa agama adalah konfleksitas. Ia mewujud dalam berbagai ranah kehidupan manusia, salah satu bentuk manifestasinya adalah budaya.
Dengan kata lain, agama selalu menjiwai seluruh gerak kebudayaan. Terutama bersentuhan dengan sejarah manusia yang selalu bersinggungan dengan dimensi kesucian agama memberikan implikasi besar terhadap kontruksi kebudayaan dunia. Sebab kebudayaan merupakan cerminan dinamika dua elemen fundamental dalam kehidupan manusia yaitu agama dan rasio.

Jika kita mau jujur dan runut kebelakang Abad pertengahan sering disebut abad agama, baik islam di masa kejayaannya ataupun kristen sebelum masa renaisans betul-betul mendominasi. Gereja menjadi institusi yang punya hak legitimasi kebenaran, segala sesuatu yang bertententangan dengannya diberangus.

Singkat kata, budaya yang didominasi agama kadang mematikan rasio, sebagai contoh ketika Galileo menyatakan bahwa sebetulnya yang bergerak dalam sistem tata surya itu bukan matahari, tetapi bumi. Penganut doktrin kristen yang beranggapan lain dan bereaksi keras serta pada akhirnya menghukum mati Galileo dengan cara meminum racun.
Hegemoni agama terhadap negara acapkali sering terjadi. Bahkan pepahaman ini mendarah daging di masa-masa tempo dulu. Hingga Penyair muslim terkenal, sebut saja Jalaluddin Rumi, mmengilustrasikan lewat kata-kata; "Di negara yang diperindah cinta, akal digantung; begitupun di negara yang diperintah akal, agama disembelih" seakan tak terbantahkan.

Persinggungan agama dengan ilmu atau rasio kerap kali menimbulkan pengaruh cukup besar. Secara diametral keduanya saling mempengaruhi. Perkembangan ilmu yang demikian pesat akhir-akhir ini yang diramalkan oleh para ahli akan mematikan agama, ternyata tak terbukti. Agama bahkan tampil kembali kepermukaan dengan bentuknya yang baru.

Tantangan sains yang positivis yang memarjinalkan agama dan mengagapnya tak berguna karena tak bisa dibuktikan secara ilmiah mendorong para agamawan untuk mengkaji kembali agama secara lebih mendalam dan mencari bentuk relevansinya dengan keadaan sekarang. Agama di interpretasikan ulang. Karena pemahaman keberagamaan selalu meruang dan mewaktu, maka bentuk keberagamaan era sekarang pun sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio historis zaman ini.

Pada era globalisasi agama dan budaya sekarang ini, umat suatu agama di seantero dunia secara alamiah harus bersentuhan dan bergaul dengan budaya dan agama orang lain. Mereka juga dituntut tidak lagi menutup diri alias membuka diri. Keterbukaan dan sikap membuka diri dalam ruang publik dan dialog antar keyakinan diharapkan akan mendorong pemahaman keberagamaan yang pluralis, toleran dan egaliter.

Namun hal itu bukan berarti tanpa hambatan, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, tentunya akan mengalami kesulitan keagamaan ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Hambatan itu, terkadang berupa pemahaman keagamaan yang terlalu ekslusif, doktriner, rigid dan kaku.

Pengklaiman bahwa agamanya yang terbenar akan menimbulkan fanatisme yang berlebihan. Agama dan keyakinan lain akan dianggap sebagai sesat. Maka dengan serta merta lahilah peperangan dan pembunuhan masal, yang sering terjadi atas nama agama dan Tuhan. Semisal, kasus Sampit, Ambon--rasanya masih mengiang ditelinga kita. Betapa dahsatnya akibat yang harus dipikul dengan kehilangan keluarga, sanak famili, handai tolan dan harta benda, ketika keberagamaan yang seharusnya menentramkan malah menjadi mala petaka kemanusiaan.

Selain itu, setiap agama mau tidak mau harus mendasarkan diri pada The Holy Scrupture atau kitab suci. Teks dalam kitab suci diletakkan dalam posisi yang supreme, begitu tinggi sehingga mengalahkan realitas hidup yang terus berubah.

Fenomena sosial yang kita lihat akhir-akhir ini, yaitu fundamentalisme, sebetulnya merupakan wujud modern dari kecenderungan yang sudah berurat dan berakar lama dalam agama-agama Kitab-Suci-Tertulis, yaitu kecenderungan untuk meninggikan teks di atas pengalaman kongkrit manusia. Dasar pokok dalam fundamentalisme agama--termasuk di dalamnya adalah fundamentalisme Islam adalah kehendak untuk mengukuhkan teks.

Dangan kata lain, Fundamentalisme ini seringkali dituduh sebagai biang keladi penghambat terjadinya harmonisasi hubungan antar agama, karena teks yang menjadi rujukannya hanya bersandarkan pada satu keyakinan. Sementara, realitas manusia adalah beragam, maka tidak mungkin menyamaratakan manusia dalam satu teorema dan pandangan hidup meskipun itu kitab suci namanya. Kalau sikap pluralis, egaliter dan inklusif tidak bisa di tanamkan sekarang, maka yang muncul kemudian adalah sikap sebaliknya; kemungkinan kisah-kisah tragis fanatisme keagamaan akan dicatat kembali dalam lembaran buram sejarah agama-agama.

Keberadaan agama sendiri secara fungsional guna mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam keselarasan dirinya dengan alam dan sesamanya. Terutama dalam mencari dan mencapai kebenaran yang terus-menerus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Dinamika zaman yang sarat akan konflik menjadikan fungsi agama menjadi sebuah sarana harmonisasi bagi setiap kontradiksi yang ada dalam kehidupan manusia sehingga setiap bentuk perseteruan tidak terjadi antara manusia dan sesamanya.

Walaupun demikian, perbedaan kepentingan dari beragam keunikan manusia dan beraneka macam bentuk agama menjadikan manusia harus mempertanyakan setiap kebenaran yang ada dalam hidupnya dan hal semacam ini tentu saja menjadi sebuah proses kesejarahan dan dialektika terus-menerus dalam mencari gambaran Tuhan di dalam diri manusia.

Agama dan pluralisme

Dalam wacana hubungan antar agama sikap yang berusaha saling memahami, terbuka (inklusif) dan egaliter sering disebut toleransi. Toleransi adalah norma dan etika yang bisa ditemukan pada kefitrian insani. Ukuhuwah dan toleransi merupakan pesan abadi Qurani yang berulang-ulang disampaikan oleh para Nabi.

Tak hanya itu, toleransi juga hampir sepadan dengan kata pluralisme. Dari sudut pandang bahasa kata ini sangat mudah dipahami, plural berartikan banyak jumlah. Kata pluralisme bermula dari adat-istiadat gereja pada abad-abad pertengahan. Diawal kemunculan istilah ini, seseorang yang memiliki banyak kedudukan gerejani--misalnya seorang pastor yang sekaligus politisi dan pedagang--disebut sebagai seorang pluralis. Dalam konteks kekinian, pluralisme memiliki pengertian yang berbeda-beda bergantung pada sudut pandangannya. Pengertian pluralisme secara politis, filsafat, sosial, dll. Lantas bagaimana makna pluralisme dalam agama?

Term pluralisme saat ini seolah menjadi trade mark agama. Julukan sang pluralis pun menjadi kebanggaan. Gejala pluralisme populer bersama modernisme. Sebut saja Nurcholis Majid, tokoh Neo-Modernisme Indonesia misalnya merupakan salah seorang penggagas pluralisme sebagai alternatif menjawab kondisi keagamaan di Indonesia, yang rentan konflik dan keluar dari ortodoksi fatalistik.

Wacana pluralisme saat ini semakim diminati oleh banyak kalangan. Seiring dengan makin banyaknya konflik yang ditengarai sebagai akibat dari perbedaan agama atau mazhab. Pluralisme agama adalah sebuah solusi ilmiah untuk meredam keadaan yang melanda tersebut. Dalam pengertian lain, Pluralisme agama memberikan pesan untuk setiap umat manusia bahwa keyakinan kepada sebuah agama tertentu bukan alasan untuk menyalahkan agama lainnya. Pluralisme agama menyatakan bahwa kebenaran adalah milik bersama.

Namun, konsep ini bukan tanpa masalah, tapi pluralisme menyatakan semua agama itu memiliki hakikat kebenaran. Islam yang monotheis benar. Kristen yang politheis benar. Hindu yang trimurti juga benar. Dalam konteks ini, mungkinkah akal kita bisa menerima kebenaran dua hal yang kontradiktif ini? Mungkinkah Tuhan itu satu dan pada saat yang sama Tuhan itu tiga? Mungkinkah Tuhan itu ada dan pada saat yang sama tidak ada ?
Menilik persoalan tentang pluralisme yang kian pelik dan rumit, maka Allamah Mizbah Yazdi mengkritik dengan pedas pandangan ini sebagaimana dikutip Alireza al-Athas dalam artikelnya “terminologi Pluralisme”. Ia memberikan empat terminologi pluralisme serta mengkritisinya, sebagai berikut; pertama, Pluralisme adalah toleransi. Kedua, Pluralisme berarti memandang sama sebagai satu hakikat. Ketiga, Pluralisme memandang bahwa hakikat itu banyak bentuknya, dan keempat, pluralisme berarti hakikat terdiri dari beberapa unsur dan masing-masing tersimpan dalam sebuah agama. Namun, dalam tulisan ini hanya dua yang akan dibahas secara gamlang dan luas.
Pertama pluralisme adalah toleransi, artinya bahwa tidak seharusnya umat manusia saling memerangi. Hidup tentram dan tenang merupakan harapan setiap umat manusia. Agama atau mazhab bukan kendala untuk hidup bertoleransi diantara para pemeluk agama yang berbeda. Agama Islam sama sekali tidak menentang pluralisme sosial dalam pengertian ini. Bahkan Islam sangat menjunjung tinggi toleransi. Islam jelas-jelas menentang pemaksaan pendapat, apalagi bila dibarengi dengan kekerasan fisik. Setiap manusia berhak memilih pendapatnya sendiri, berhak memilih agama, partai atau mazhabnya sendiri, namun pada saat yang sama manusia juga harus menghormati orang lain yang memiliki pilihan berbeda dengan dirinya.

Kedua pluralisme Memandang Sama sebagai Satu Hakikat. Dalam pandangan ini, perbedaan antara agama-agama yang ada terjadi karena perbedaan interpretasi, bukan kerena perbedaan esensi agama itu sendiri. Oleh karenanya, kebenaran hakiki bukan milik satu golongan. Setiap orang memahami hakikat agama sesuai dengan inteletualitas dan latar belakang kehidupannya. Tidak ada yang berhak mengklaim pemahaman pribadinya atas hakekat sebagai yang paling benar.

Dalam pengertian ini, agama dianggap semata-mata rekayasa akal. Karena setiap orang memiliki akal, maka, berdasarkan akalnya masing-masing, mereka berhak menafsirkan hakikat. Terminologi kedua ini juga menjadikan hakikat sebagai sesuatu yang tidak dapat dipahami manusia sepenuhnya.

Lalu, bagaimana dengan islam, jika term tersebut dipakai oleh umat islam. Masih menurut Yazdi, Islam jelas berkeberatan dengan konsep pluralisme dalam pengertian semacam ini. Ambil Contohnya, di beberapa ayatnya, Al-Quran menolak hakikat yang dipahami umat Kristen berkaitan dengan konsep anak Tuhan (al-Kahfi, : 4-5).

Atas kritikan Quran ini, terminologi ini memberikan jawaban yang sangat absurd. Mereka bahkan tidak segan-segan menyatakan bahwa Al-Quran yang ada di tangan kita saat ini sama sekali bukan wahyu Tuhan melainkan hasil interpretasi para agamawan di zaman dulu. Karena itu, interpretasi mereka tersebut dilatarbelakangi pengetahuan sosial, fisik, dan natural yang terbatas dan sangat klasik.

Sementara itu, kemampuan interpretasi manusia telah jauh berkembang. Maka, semestinya, interpretasi tentang hakikat dimasa sekarang ini jauh lebih maju dan oleh sebab itu, hasilnya harus jauh lebih baik. Begitulah seterusnya. Manusia tidak akan pernah sampai pada hakekat kebenaran. Manusia bahkan tidak akan mampu membuktikan hakekat kebenaran bahwa Tuhan itu ada atau tidak, apalagi kalau harus membuktikan bahwa Tuhan itu satu atau banyak. Sangat aneh dan absurd!

Hal yang senada pun di ungkapkan oleh Peter Donovan, bahwa pluralisme tidak hanya menyelundupkan pesan toleransi sekaligus penolakan terhadap agama, tetapi juga agen dari liberalisme politik internasional.

Begitupun dengan Jurgen Multman, memberikan tanggapan tentang pluralisme tidak hanya berkutat di sikap toleransi semata. Tapi harus melampui itu. Bahkan kalau perlu toleransi itu tidak lebih sebagai pemberangusan. Pendek kata, Ia menyetarakan pluralisme agama dengan konsumerisme masyarakat barat, satu gaya hidup pemujaan produk, sebagai berkah proyek admass dan imajinatisasi Amerika. Sebab plurarisme adalah sebuah fenomena ambisi ekonomi dan sosial.

Pluralisme dan liberalisme

Pluralisme dan liberalisme merupakan ramuan mujarab untuk menuntaskan masalah fanatisme agama. Sejalan dengan liberasi ekonomi politik dan ekonomi internasional, liberasi dalam bidang pemikiran pun dicakarkan. Kesenjangan ekonomi, peperangan, dan kelaparan adalah masalah manusia yang tidak bisa hanya dituntaskan melalui bantuan ekonomi dan gencatan senjata. Tentunya ada banyak sebab yang melatarbelakanginya, dan tentu saja ada bayak cara untuk menuntaskanya.

Pemikiran yang liberal dan maju diharapkan dan diyakini akan mampu mendorong perubahan kearah yang lebih baik dan maju. Karena melalui gaya berpikir yang rasional, futuristik, kontektual dan tidakManusia terkadang memahami hakikat didalam agama Yahudi, terkadang juga memahaminya didalam agama lainnya. dogmatis menjadi tumpuan pencerahan. Dominasi taqlid diharapkan bisa dihapus, dan umat bisa keluar dari kungkungan tradisi yang tidak produktif. Dengan adanya kesadaran dan pandangan dunia yang seperti itu diharapkan manusia bisa menempatkan agama dalam posisinya yang tepat sebagai rohmatal lilalamin. Artinya agama bukan lagi sebagai pemicu Tumbuh bukan hanya dilingkungan intelektual perkotaan, para mahasiswa, akademisi dan aktivis berbagai kajian diperlagai temapat menjadikan paradigma tersebut sebagai wacana baru pemikiran. Konflik dan penghancur kebudayaan, tetapi sebagimana yang Tillich katakan menjadi fondasi budaya manusia.

Beralih kemasalah liberalisme, liberalisme seakan bak jamur dalam arena pemikiran. Modernisme, neo-modernisme, atau yang lebih populer sekarang islam liberal tidak hanya terbatas kepada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaharuan. Ia telah menjadi wacana yang menyebar kedalam bukan hanya milik para pembaharu, Tapi juga telah menyebar ke dalam kaukus-kaukus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan.

Konstruksi pemikiran yang dibentuk—liberalisme--dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya pemikiran selalu menawarkan alternatif serta persefektif baru bagi kesadaran. Seperti Fazlur Rahman yang memberikan kesadaran teologi (sebagain) umat Islam di Indonesia dengan konsep pendekatan holistik--yang dikenal dengan “teologi Qur’ani”--yang disodorkannya. Maka dengan serta-merta telah membuka cakrawala pandang baru yang lebih fungsional, liberal, dan applicable dalam merespon problema sosial kemanusiaan mutakhir.

Sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik lahir. Di dalam negeri sendiri pun kerap bermunculan para pemikir yang jempolan. Seperti Harun Nasution, Nurcholis Majid, Gus Dur, Kang Jalal, Kuntowijoyo dan lainnya. Kemudian generasi mudanya seperti Ulil, dengan islam liberalnya juga menjadi fenomena baru akhir-akhir ini.

Akhir kata, Agama yang sering dianggap sebagai esensi yang terdalam dan menyentuh setiap aspek kehidupan ternyata sarat tujuan. Secara fungsional keberadaannya bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam keselarasan dirinya dengan alam dan sesamanya. Terutama dalam mencari dan mencapai kebenaran yang terus-menerus berubah seiring dengan perkembangan zaman.

Ditengah konflik global agama diharapkan mampu menjadi mainstream harmonisasi bagi setiap kontradiksi yang ada dalam kehidupan manusia sehingga setiap bentuk perseteruan tidak terjadi antara manusia dan sesamanya. Perbedaan kepentingan dari beragam keunikan manusia dan beraneka macam bentuk agama menjadikan manusia harus mempertanyakan setiap kebenaran yang ada dalam hidupnya. Proses kesejarahan dan dialektika dalam mencari gambaran Tuhan di dalam diri manusia terus-menerus berlangsung dalam dimensi pertarungan ruang dan waktu.

Jika tujuan pokok beragama merupakan pencapaian perkembangan rohani dalam diri manusia, sehat dan matang secara psikologis, seimbang dalam tataran spritual dan material. Apabila gagal mencapai keadaan tersebut, maka S Freud menggambarkannya sebagi suatu keadaan "neurosis obsesional" dalam diri umat beragama. Yaitu fenomena orang-orang yang tidak mencapai perkembangan rohani, mencapai hakekat agama sebagi cure of the soul (penyembuh ruhani).

Oleh karena itu, agama dengan segala pluralitas nan ragamnya, mulai dari pluralitas pemahamannya, pluralitas kondisi sosio historisnya mesti tetap dipahami sebagai suatu kerangka yang mampu menjembatani kearah terbentuknya manusia yang paripurna. []

*Penulis Adalah Mantan Presiden Mahasiswa Jurusan Perebandingan Agama Fakultas Ushuluddin periode 2004/2005 dan Aktifis HMI Ushuluddien. Kini menjabat Mentri Dalam Negeri BEM KBM UIN SGD Bandung.

No comments:

 
@Copyright © 2007 Depkoinfokom HMI Design by Boelldzh
sported by HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Kabupaten Bandung
Pusgit (Pusat Kegiatan) HMI Jl.Permai V Cibiru Bandung 40614
email;hmi[DOT]kab[DOT]bdg[ET]gmail[DOT]com