Monday, April 23, 2007

Polemik UN

Ujian Nasional, Apakah Sebuah Jawaban?
Oki Sukirman

Dunia pendidikan kita saat ini sedang mempunyai hajat besar. Sebuah perhelatan yang membuat orang yang terlibat merasa tegang dan was-was, antara lulus dan tidak lulus, antara kejujuran dan gengsi. Hajat besar itu adalah UN atau Ujian Nasional. Menurut jadwal yang dikeluarkan Departemen Pendidikan nasional {Dep-diknas), untuk tingkat SMA/MA/SMK diselenggarakan pada 17-19 April 2007, yang berarti telah dilaksanakan kemarin. Dan untuk tingkat SMP/MTs/SMPLB/SMALB pada 24-26 April 2007 mendatang.

UN yang telah diadakan dari tahun ke tahun termasuk tahun sekarang terus memunculkan polemic tentang perlu tidaknya UN, resistensi ini muncul atas endapan keprihatinan pada kondisi bangsa dan korelasinya dengan pendidikan yang memprhatinkan karena sebuah tuntutan keadaan bangsa yang tak kunjung membaik, maka munculah sebuah pertanyaan yang besar, sudahkan pendidikan menjawab segala permasalahan bangsa yang semakin banyak dan kompleks. Adalah sebuah keharusan bagi semua pihak untuk memberikan perhatian lebih, dalam hal ini terutama pada aspek pelaksanaannya UN, dengan muncul kecurangan–kecurangan adalah penodaan kepada dunia pendidikan kita dan ini mengindikasikan bahwa memang pendidikan saat ini belum relevan.

Namun lebih dari itu, perhatian kita bukan semata pada aspek praktis semata, tapi juga memahami betul esensi dari UN itu sendiri. Memang membahas UN dari tahun ke tahun selalu saja kita dihadapkan pada topik yang usang, yang menjadi perdebatan masih tetap sama; perlu/tidak atau ada dan tidaknya UN. Hampir seluruh argumentas pro-kontra mencapai klimaks pada keharusan UN tetap diadakan. Buktinya sampai saat ini UN masih tetap diadakan.

Sebenarnya terlepas saat ini UN sudah dilaksanakan, sejatinya pemahaman akan pentingnya UN kembali kita buka. Kesimpulan tetap diadakanya UN adalah buah dari kesimpulan tanpa dasar pedagogis, bahwa dengan tingkat kelulusan dari tahun ke tahun yang meningkat merupakan indikator bahwa mutu pendidikan kita meningkat. Coba cermati data ini, bahwa hasil UN tahun ajaran 2005-2006 lebih bagus dari tahun sebelumnya karena jumlah kelulusan lebih banyak {SMA:92,5 dari 80,76 persen; MA;90,82 dari 80,73 persen; SMK 91,00 dari 78,29 persen, walaupun angka standar kelulusan dari tahun ketahun ditingkatkan. Dengan alasan pencapaian inilah pemerintah keukeuh sureukeuh mengadakan UN.

Selain itu yang menjadi alasan kuat pragmatisme terus diselenggarkannya UN adalah logikanya bahwa ketika siswa diberikan sebuah “ujian” dengan tuntutan sebuah kelulusan, pemikiran mereka bahwa otomatis setiap siswa akan belajar keras untuk mencapai nilai standar kelulusan tersebut.

Namun menurut penulis argumen ini sedikit kurang relevan. Berdasarkan pengalaman penulis ketika masih duduk di bangku SMU, justru pada kenyataannya bukan belajar keras yang dilakukan, dengan menghapal dan memperdalam mata pelajaran yang akan diujikan, atau rajin try out soal-soal UN tahun lalu. Tetapi pada kenyataannya bagi siswa yang –maaf- kemampuannya dibawah standar jusru banting setir, memeras otak bagaimana caranya supaya UN bisa sukses walaupun dengan jalan machavealisme sekalipun yaitu dengan menghalalkan segala cara.

Dan pada akhirnya kecurangan-kecurangan pun UN tidak bisa dihindarkan; soal yang bocor bahkan sampai jawabannya lalu dibeli oleh para siswa walaupun dengan harga yang cukup mahal, penjockeyan ketika UN berlangsung dan masih banyak modus operandi menyiasatinya.

Ketika “nilai” dijadikan sebuah ukuran sebagai penyebab utama rendahnya mutu pendidikan atau baiknya mutu pendidikan adalah sebuah hal yang keliru, sebab hal itu merupakan penalaran non cause pro cause (bukan sebab dikiran sebab). Sebab, kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh pencapaian angka-angka kelulusan murni –walaupun itu satu indicator penting

Seharusnya pemerintah dengan cermat mendiagnosis bagai seorang dokter kepada pasiennya: mengindentifikasi dan mengamati aspek masalah dasar, termasuk dimensi cultural dan sejarah bangsa ini, menganalisis dengan rinci guna mengetahui tanda dan gejalanya, lalu menguji di “laboratorium”, dan akhirnya sampai pada kesimpulan untuk membuat langkah-langkah guna mengatasinya. Selain itu reaksi masyarakat merupakan komponen yang jangan dianggap sebelah mata justru sebaliknya merupakan unsur yang harus diukur.

Bukankah gambaranan dari pemahaman logika bahwa UN dapat meningkatkan mutu dan melahirkan budaya kerja keras merupakan kenyataan kotradiktif, justru hal itu merupakan langkah mundur dunia pendidikan kita saat ini. Bagaimana mungkin angka dan jumlah kelulusan menjadi ukuran mutu pendidikan? Jika demikian mau dibawa kemana arah pendidikan kita? Berorientasi pada angka semata. Sebab seperti apa yang diwasiatkan dosen penulis disetiap menjelang UAS, bahwa nilai atau angka bukan ukuran dan segala-galanya; nilai mah ki bisa dimanipulasii! Kata-kata itulah yang selalu terngiang di telinga penulis.

Sejatinya pendidikan jauh melampui aspek kognisi (pengetahuan) ada dua ranah yang lain disamping aspek ognitive, yaitu sikap (attitude) dan praktik (skill). Maka pengembangan pendidikan tidak boleh dan tidak seharusnya terjadi semata-mata mana-suka, tetapi harus dituntun oleh kerangka filosofi dan ideology bangsa serta ideology pendidikan. Sebab di saat keadaan yang carut-marut seperti inilah pendidikan adalah sebuah jalan keluar untuk menciptakan karakter yang tangguh, berbudaya tinggi dan memiliki multi-level intelegence yang saling melengkapi.

Dengan “dikatrolnya nilai” pendidikan di Indonesia saat ini telah kehilangan jati diri, seharusnya pendidikan menjadi tempat penanaman nilai-nilai yang akan diejawantahkan dalam kehidupan di masyarakat. Tapi saat in pendidikan telah melahirkan out pout yang premature dan tak jelas orientasinya. Maka sering ditemukan kontradiksi yang paling kurang ajar antara kemestian pendidikan dan realitas social yang terjadi. Lihat saja, realitas tak pernah hadir dalam wajah yang dusta. Berapa banyak, bisa kita hitung manusia-manusia “berpendidikan” dengan karakter dan wajah social yang (seolah) tak berpendidikan.

Oleh karenanya, mengembalikan semangat pendidikan kepada arah hasrat menyempurnakan bersama-proses berdasarkan realitas dan kompleksitas manusiawi tidak bisa ditawar lagi. Dalam usaha memajukan kualitas pendidikan, tujuan jarang disentuh dan dijadikan program dasar propesional. Padahal, tujuan pendidikan itulah yang harus diperjuangkan untuk diraih oleh siapa pun yang berkecimplung dalam dunia pendidikan.

Fakta telah bicara tahun kemarin (2006), banyak siswa yang tidak lulus melakukan sikap yang menyimpang dan tidak terpuji contoh ada beberapa siswa yang nekat bunuh diri (Kompas, 22/6/2006), dan ada pula yang melampiaskan kekesalan dengan membakar sekoah sendiri, bahkan ada siswa berupaya melukai gurunya (Kompas, 25/2/2006).

Cobalah kita cermati mengapa seorang siswa dengan berani membakar sekolahnya sendiri? Bahkan sampai ada yang berani melukai seorang yang telah memberikan jasa dengan tanpa tanda jasa? Ini menjadi PR buat pendidikan di Indonesia, adakah pendidikan saat ini tidak saja menitkberatkan pada aspek IQ (Intelektual Quotient) belaka, tapi jauh lebih dari itu aspek EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Maka dengan tersentuhnya EQ dan SQ, buah hasil dari pendidikan tidak saja, kaya akan aspek ilmu pengetahuan, juga aspek emosional atau moral, penajaman hati nurani (conscience), bahkan lebih dari itu akan tercapainya siswa yang religius atau taat beragama.

Bukan lagi rahasia bahwa saat ini kunci kesuksesan dalam hidup, tidak lagi bertitik berat pada aspek pengetahuan (cognitive) atau IQ belaka, tapi aspek EQ dan SQ menjadi jauh lebih penting seperti yang di paparkan oleh Ary Ginanjar Agustian dalam buku Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritiual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam atau oleh Toto Tasmara dengan buah pikirnya Kecerdasan Ruhaniyah atau karya Agus Nggermanto dengan bukunya Kecerdasan Quantum Cara Praktis Melejitkan IQ, EQ dan SQ Yang Harmonis.

Gejala ini (pentingnya aspek EQ dan SQ) menurut A.M Saepudin (1999:23) terjadi karena masyarakat dunia telah menemui kelelahan-intelektual dan kemarau-spiritual. Oleh karenanya pendidikan kita saat ini sudah saatnya banting setir untuk menyentuh aspek emosional dan spiritual, sebab bukan rahasia umum juga jika pendidikan kita hanya bertumu pada aspek cognitive (pengetahuan) belaka. Silahkan saja jika tidak setuju tapi fakta dan outputlah yang bicara.

Maka walaupun UN diselenggarakan tiap tahun dan standar ditinggikan, jika proses dan system pembelajaran tidak dibenahi terutama dari segi sarana atau prasarananya, dapat dipastikan peningkatan mutu dan etos kerja keras bangsa ini bagai mimpi di siang bolong.

No comments:

 
@Copyright © 2007 Depkoinfokom HMI Design by Boelldzh
sported by HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Kabupaten Bandung
Pusgit (Pusat Kegiatan) HMI Jl.Permai V Cibiru Bandung 40614
email;hmi[DOT]kab[DOT]bdg[ET]gmail[DOT]com